KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta untuk tidak melupakan tentang tata kelola yang sehat dalam berbisnis bagi pemain
Over The Top (OTT) seiring kencangnya transformasi digital dipicu pandemi. OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa.
Baca Juga: Emiten Menara Tahan Corona, Laba TOWR Paling Gede, SUPR Tertinggi, TBIG Dijagokan "Di era Kabinet Kerja, dulu sudah ada Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (
Over The Top/OTT). Ini sebaiknya dituntaskan karena di tengah pandemi, jasa OTT makin banyak digunakan, tetapi nyaris nir keuntungan bagi negara atau penyedia jaringan," saran Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi dalam keterangannya, Jumat (7/8). Menurut Heru, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah tak memiliki kendala dalam menetapkan aturan main bagi para OTT karena dari Kementerian Keuangan sudah menyelesaikan beberapa isu yang menjadi kendala selama ini. "Kemenkeu telah bergerak maju dengan menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk impor digital. Bahkan, Direktur Jenderal Pajak telah menunjuk beberapa perusahaan global yang memenuhi kriteria sebagai Pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia. Masa Kominfo malah belum punya aturan untuk OTT," katanya. Diingatkannya, jika para OTT terutama pemain asing tak diatur, maka potensi kerugian bagi pelaku usaha lainnya seperti operator telekomunikasi, bahkan negara terus membesar.
Baca Juga: Penyewaan menara naik, ini rekomendasi saham Tower Bersama Infrastructure (TBIG) "Selama ini operator sudah mengeluhkan tentang tidak adanya
equal playing field dengan OTT terutama bagi pemain yang sudah menawarkan jasa seperti yang dimiliki operator. Saya dengar ada juga OTT yang berani memasukkan komponen
peering interconnection untuk layanannya dimana itu sudah menunjukkan harusnya ada pembagian hasil dengan operator. Tetapi kenyataan operator tak dapat apa-apa," ungkapnya. Ditambahkannya, jika kondisi tak transparan dan seimbang dalam berbisnis ini dibiarkan, industri telekomunikasi nasional bisa bangkrut karena tak ada sustainabilitas ke depannya. "Saat ini, persaingan di pasar operator telekomunikasi sendiri sudah cukup ketat, dengan margin yang tergerus. Pemerintah harus berani berikan insentif berupa regulasi yang menguntungkan semua pihak di era transformasi digital ini. Kalau tidak, operator bertumbangan, yang rugi nanti pemerintah juga," tutupnya. Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Mohammad Ridwan Effendi mengakui pemerintah harus memimpin penyusunan tata kelola bisnis OTT karena Presiden sudah mendeklarasikan percepatan transformasi digital belum lama ini. "Kominfo memang harus menuntaskan RPM OTT itu, tinggal diperbarui dengan kondisi terkini dimana berpegang pada kedaulatan dan keadilan digital," tegasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi