DPD minta Jokowi cabut aturan pelonggaran miras



JAKARTA. Pelonggaran penjualan miras dengan merelaksasi Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen Dagri) No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A, yang akan memberikan keleluasaan kepada kepala daerah untuk menentukan lokasi mana saja yang diperbolehkan menjual miras dianggap tidak akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris meminta Presiden Jokowi untuk mencabut aturan pelonggaran miras dari paket kebijakan ekonomi yang sudah diumumkan pemerintah pekan lalu.

Menurut perempuan yang juga Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) ini, selain tidak akan berdampak signifikan bagi perbaikan ekonomi, daya saing industri, dan daya beli masyarakat, aturan penjualan miras yang ada saat ini (Permendag No.06/2015) sudah cukup longgar karena masih boleh dijual di supermarket, bar, restoran, hotel dan di lokasi wisata.


“Namun, alasan utama kenapa (aturan pelonggaran miras) harus dikeluarkan dari paket kebijakan ekonomi adalah komitmen Pak Jokowi saat menutup Kongres Umat Islam Indonesia, Februari 2015. Beliau dengan tegas menyatakan, bahwa tidak masalah negara kehilangan triliunan rupiah karena pelarangan penjualan miras. Karena jika dibiarkan (miras dijual bebas) kerugian yang akan ditanggung negara ini lebih besar. Yang rakyat pegang dari seorang pemimpin itu komitmennya,” kata Fahira di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta (17/9).

Menurut Fahira, belum terlambat bagi Presiden untuk mencabut rencana aturan pelonggaran penjualan miras dari paket kebijakan ekonomi. Tidak ada kondisi yang mendesak sehingga aturan penjualan miras harus dilonggarkan karena memang sama sekali tidak mengganggu ekonomi bangsa ini.

“Jika alasannya terkait pariwisata, harus kita pertanyakan kembali, apa iya wisatawan datang ke sini untuk cari bir. Kalau iya, kan mereka bisa beli di supermarket, bar, atau hotel bahkan di lokasi-lokasi wisata yang sudah ada izin jual miras. Malaysia saja yang aturan mirasnya lebih ketat jumlah wisatawannya puluhan lipat dari kita. Jadi tidak alasan yang mendesak,” tegas Fahira.

Fahira mengungkapkan, sebelum sebuah peraturan atau kebijakan dikeluarkan harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Dirinya mempertanyakan apakah sudah ada kajian dari Kemendag ataupun Kemenko Perekonomian bahwa dengan dilonggarkannya aturan miras, ekonomi akan membaik? Atau, apakah pemerintah sudah mengkaji secara sosiologis dampak sosial yang akan ditanggung masyarakat dari kebijakan pelonggaran aturan miras ini?

Harusnya saat ini, lanjut Fahira, Kemendag fokus kepada tindakan pelanggaran yang masih banyak dilakukan supermarket, bar, dan restoran, serta di lokasi-lokasi wisata karena masih menjual miras kepada siapa saja tanpa memeriksa identitas pembeli, sudah diatas 21 tahun atau belum.

“Apa jadinya kalau aturan pelonggaran ini benar-benar direalisasikan. Akan semakin banyak tempat-tempat penjualan miras. Akan semakin banyak pelanggaran menjual miras kepada anak di bawah umur. Kita tahu bagaimana kapasitas pengawasan di daerah-daerah terkait miras, sangat lemah,” ujar Fahira.

Memang dalam beberapa hari ini di media sosial, penolakan pelonggaran miras sudah ramai bahkan sempat jadi trending topic nomor satu beberapa kali.

“Ini saya rasa harus jadi perhatian dari Presiden. Sudah cukup banyak kegaduhan yang terjadi belakangan ini. Jangan ditambah lagi dengan kegaduhan baru dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak bermanfaat bagi rakyat banyak,” tegas senator Asal Jakarta ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri