DPR akan tunda pengesahan RUU perusakan hutan



JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertimbangkan untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) dalam sidang paripurna DPR yang dijadwalkan akan berlangsung besok (2/4). DPR memutuskan penundaan setelah menerima audiensi koalisi masyarakat sipil untuk kelestarian hutan yang menolak pengesahan RUU tersebut.

 “Yang bisa saja janjikan besok tidak akan disahkan karena saya yang memimpin sidang paripurna besok. Tetapi kalau disahkan besoknya lagi itu di luar kewenangan saya,” kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (1/4).

Pramono bilang, meski pembahasan RUU tersebut sudah dilakukan sejak 7 kali masa persidangan, tetapi lantaran adanya keberatan lembaga swadaya masyarakat (LSM) kehutanan dan masyarakat adat, ia sebagai pimpinan DPR berupaya untuk menunda pengesahan tersebut. Pramono pun lantas meminta pada koalisi LSM itu untuk mengkomunikasikan keberatannya tersebut pada 9 fraksi di parlemen.


Menurutnya, masih ada waktu hingga sidang paripurna selanjutnya tanggal 9 April untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hanya saja, ia mengaku tidak memiliki kekuasaan untuk mendikte fraksi-fraksi di DPR untuk membatalkan pengesahan. “Kalau dilihat dari spiritnya harusnya RUU ini bagus karena judulnya saja pemberantasan perusakan hutan. Saya tidak mau suudzon, tapi perusakan hutan ini tanggung jawab kita semua,” tegasnya.

Nur Hidayati dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) justru melihat RUU yang akan disahkan tersebut memiliki cacat baik dari segi pembentukan maupun substansinya. Menurutnya RUU P2H tumpang tindih dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 Tahun 2011 tentang Definisi Kawasan Hutan.

Hidayati bilang, dari pembatasan aspek pemberian ijin pengelolaan hutan RUU P2H malah membuka peluang terjadinya kriminalisasi bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang tinggal di kawasan hutan. “Justru perusahaan besar yang punya ijin itu yang berperan dalam perusakan hutan. Sedangkan masyarakat adat secara legal formal justru dianggap tanpa ijin,” urai Nur.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) W Tama S. Langkun menambahkan, jika langkah audiensi yang diupayakannya ini tidak berhasil membuat kubu Senayan menunda pembatalan pengesahan RUU P2H, maka koalisi akan mengajukan gugatan judicial review ke MK. Menurutnya selain bertentangan dengan peraturan sebelumnya, RUU ini juga akan mengeliminir pemberantasan korupsi karena kemudahan perijinan berpotensi menimbulkan peluang korupsi.

 “Kita liat contoh kasus pengalih fungsian hutan yang menimpa Bupati Pelalawan Tengku Asmun Djafar dan Gubernur Riau Rusli Zaenal,”  pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Amal Ihsan