JAKARTA. DPR mencium ketidakberesan dalam proses penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi perusahaan tersangka pembakar hutan oleh kepolisian beberapa waktu lalu. Dugaan ketidakberesan tersebut, mereka dasarkan pada dua temuan saat kunjungan ke lapangan beberapa waktu lalu. Temuan pertama, alasan hukum dan mekanisme proses penetapan perusahaan menjadi tersangka kasus pembakaran hutan. Benny K Harman, Ketua Panitia Kerja Kebakaran Hutan Komisi III DPR mengatakan, sesuai KUHAP, proses hukum pada seseorang sampai kemudian mereka jadi tersangka harus didahului dengan penerbitan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Tapi, untuk kasus perusahaan yang jadi tersangka pembakar hutan tersebut, mekanisme tersebut tidak ditempuh. "Mekanismenya seperti itu, dan kejaksaan harus tahu, sehingga saat mereka ditetapkan jadi tersangka kejaksaan tahu, tapi dalam kasus ini tidak tahu mereka," katanya di Jakarta Rabu (13/9).
Temuan kedua, soal daftar perusahaan yang ditetapkan menjadi tersangka. DPR mencium ada yang aneh. Mereka mensinyalir, beberapa perusahaan yang ditetapkan jadi tersangka pembakar hutan fiktif. Mereka mencurigai, langkah tersebut dilakukan kepolisian untuk melindungi perusahaan besar yang menjadi pelaku pembakar hutan sebenarnya. Kepolisian beberapa waktu lalu menerbitkan SP3 bagi perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan. SP3 tersebut salah satunya diberikan oleh Polda Riau. Ada setidaknya 15 perusahaan terduga pembakar hutan yang kasusnya dihentikan polda tersebut. Mereka antara lain; PT Dexler Rimba Perkasa, PT Hutan Sola Lestari, PT PAN United.