DPR "Anulir" Putusan MK, Bola Panas Ada di KPU, Membangkang atau Jaga Konstitusi?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bola panas pengaturan Pilkada 2024 kini ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai regulator teknis yang akan memproses seluruh pencalonan kepala daerah. 

Pasalnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI telah "menganulir" putusan penting MK terkait UU Pilkada pada hari ini, meskipun secara teori putusan MK bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. 

Kini tinggal KPU memilih, mengikuti putusan MK sebagaimana mereka lakukan saat memproses pendaftaran Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024, atau manut DPR. 


Baca Juga: Berlandaskan Putusan MK, Megawati Akan Umumkan 169 Calon Kepala Daerah 2024 Besok

"KPU bagaimana? Ikut putusan MK atau revisi undang-undang? Di sini lah letak kita bisa mengukur apakah KPU ikut menjadi pembangkang konstitusi atau penjaga konstitusi," ujar pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, kepada Kompas.com pada Rabu (21/8/2024). 

Pendiri Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu mendesak KPU untuk tetap menjaga konstitusi selaku lembaga independen dengan tidak mengikuti akal-akalan Senayan. 

Berfungsi sebagai lembaga pelaksana undang-undang bukan berarti KPU harus membebek pada DPR, terlebih secara hirarkis putusan MK lebih tinggi sifatnya karena menguji undang-undang terhadap UUD 1945. 

"Betul dia harus mengikuti undang-undang dan mengikuti undang-undang juga berarti mengikuti putusan MK," kata Bivitri. 

Baca Juga: Akali Putusan MK, Baleg Ubah Threshold Pilkada Hanya Bagi Parpol Tanpa Kursi DPRD

"Kalau perppu atau undang-undangnya itu melanggar putusan MK yang artinya melanggar konstitusi. Jadi KPU seharusnya tidak melaksanakan perppu itu dan langsung saja bikin peraturan KPU yang secara teknis mengatur (perubahan aturan teknis karena penyesuaian putusan MK)," jelas dia. 

Ia memberi contoh lain, pada 2018, KPU sempat diperhadapkan pada "ketidakpastian hukum" terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang melibatkan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta. 

Saat itu, muncul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sampai Mahkamah Agung (MA) yang menguntungkan Oesman, sedangkan MK telah lebih dulu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh rangkap jabatan di partai politik sehingga Oesman harus mundur. 

Editor: Noverius Laoli