JAKARTA. Ketegangan di parlemen belum juga mereda. Suasana masih terbelah. Setumpuk pekerjaan rumah belum mulai dibahas, tetapi tak terlihat komitmen bekerja untuk rakyat. Dalam dua hari, ada dua peristiwa "besar" yang terjadi di DPR. Pertama, adalah saat politisi PPP Hasrul Azwar menjungkirbalikkan meja di ruang sidang paripurna DPR. Padahal sidang masih berlangsung. Dia menjungkirbalikkan meja karena meradang ketika Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dari Demokrat, selaku pemimpin rapat, tidak menggubris penjelasannya. Karena ricuh, rapat paripurna pun langsung ditutup. Rapat paripurna itu membahas penetapan alat kelengkapan Dewan. Kekisruhan berawal saat pimpinan rapat mengakui keabsahan daftar nama anggota Fraksi PPP yang disampaikan anggota Fraksi PPP, Epyardi Asda.
Sementara itu, Hasrul menilai bahwa daftar nama itu tidak sah karena bukan dikeluarkan oleh DPP PPP hasil Muktamar PPP di Surabaya yang menetapkan M Romahurmuziy sebagai ketua umum baru, menggantikan Suryadharma Ali. Untuk tindakan Hasrul yang memalukan itu, belum ada teguran atau sanksi yang diberikan DPR. Alasannya satu, Majelis Kehormatan Dewan belum terbentuk karena DPR masih disibukkan dengan agenda pemilihan dan penetapan pimpinan komisi atau alat kelengkapan dewan lainnya. Peristiwa kedua terjadi pada Rabu (29/10) siang, yaitu saat pimpinan DPR marathon memimpin rapat pemilihan dan penetapan pimpinan komisi. Rapat digelar ekstra cepat dan tanpa dihadiri anggota Fraksi PPP dan empat fraksi dari partai Koalisi Indonesia Hebat--PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura. Hasilnya, sembilan dari sebelas komisi di DPR disapu bersih oleh anggota fraksi partai Koalisi Merah Putih. Hanya Komisi V dan XI yang tertunda menggelar rapat pemilihan dan penetapan pimpinan lantaran masalah teknis. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, rapat pemilihan dan penetapan pimpinan komisi harus segera digelar meski tanpa kehadiran fraksi Koalisi Indonesia Hebat. Ia menilai pimpinan DPR telah memberikan toleransi dalam empat sidang paripurna agar anggota fraksi Koalisi Indonesia Hebat menyerahkan susunan anggota di komisi dan alat kelengkapan dewan. "Yang salah siapa? Kami sudah berikan kesempatan empat kali (paripurna), tapi tidak juga diserahkan," kata Fahri. Pimpinan DPR dan Koalisi Merah Putih tetap melangsungkan rapat pemilihan karena mengacu kepada Pasal 251 ayat (1) sampai (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebaliknya, Koalisi Indonesia Hebat, berpegang pada Pasal 284 ayat (1) UU yang sama. Pada Rabu petang, secara mengejutkan, fraksi dari Koalisi Indonesia Hebat secara resmi meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menggantikan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Langkah tersebut diambil sebagai tindak lanjut setelah mereka mengangkat pimpinan DPR sementara sebagai tandingan pimpinan DPR yang ada saat ini. Move on Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, prihatin dengan fenomena pimpinan DPR tandingan yang dibentuk oleh Koalisi Indonesia Hebat. Ia menyarankan kekuasaan lebih mengutamakan musyawarah, bukan adu kekuatan. "Politisi kita belum mampu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi," kecam Yusril dalam akun Twitter pribadinya, @Yusrilihza_Mhd, Rabu. Tak hanya itu, Yusril khawatir ketika politisi lebih mengedepankan adu kekuatan, maka yang dikorbankan adalah masa depan bangsa. Menurut dia, kekuasaan itu harus dibagi dan bukan hanya untuk satu golongan tanpa mengedepankan keseimbangan di pemerintahan. "Negara ini takkan pernah akan berjalan baik dan sempurna kalau dikuasai oleh satu golongan saja, baik di eksekutif maupun di legislatif. Kekuasaan harus berbagi secara adil dan berimbang. Semua harus diberi kesempatan untuk memimpin lembaga-lembaga negara secara proporsional," papar Yusril. Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan berpendapat, masyarakat Indonesia saat ini sudah kembali menyatu dan melupakan proses Pemilu Presiden 2014. Mereka pun tidak lagi terkotak-kotak dan memiliki keyakinan cukup besar atas kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Berdasarkan survei yang dilakukan SMRC pada 2-4 Oktober 2014 dengan jumlah responden sebanyak 1.520 orang, diketahui keyakinan masyarakat Indonesia terhadap Jokowi sangat tinggi, yakni 74,5 persen.
Jika dilihat dari latar belakang pemilihan terhadap partai politik, hampir semua partai mayoritas memiliki keyakinan kepada Jokowi. Persentase terendah hanya ada pada pemilih Partai Gerindra, dengan angka keyakinan 50 persen. Sementara itu, persentase pemilih PDI-P, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional, mencapai lebih dari 70 persen. "Dilihat dari itu, politisi di Senayan harusnya bisa melihat supaya mereka berkompromi-lah, tidak ngotot-ngototan terus seperti sekarang. Masyarakatnya saja sudah move on, elitenye belum," kata Djayadi. (Indra Akuntono) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie