JAKARTA. Rencana akuisisi Bank Tabungan Negara (BTN) oleh Bank Mandiri dianggap masih sebatas isu saja. Bahkan, isu tersebut sebenarnya tidak ada sama sekali.Hal tersebut, kata Harry Azhar Aziz, Ketua Komisi XI DPR RI, karena sampai saat ini tidak ada surat resmi atas pengajuan akuisisi BTN yang diterima DPR. "Jadi ini baru sebatas dilingkup Kementerian BUMN saja. Untuk akuisisi ini, harus libatkan banyak pihak, termasuk presiden, komite privatisasi, maupun DPR," terang Harry, Senin (21/4).Harry merinci, dalam keputusan akuisisi BTN, Kemen BUMN harus melibatkan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan sebagai komite privatisasi. Setelah itu, pengajuan akuisisi harus dikonsultasikan ke presiden. Lalu, proses pengajuan selanjutnya berada di Komisi VI dan XI DPR.Jadi, lanjut Harry, kabar akuisisi BTN saat ini belum masalah. " Namun kalau memang benar, maka tetap tunggu dari komite privatisasi. Penjualan saham harus ada konsultasi juga dengan para pegawai. Harus ada persetujuan dua komisi. Jadi, banyak proses yang harus dilalui," tambah Harry.Harry juga menyinggung soal merger antara Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia (BNI). Menurut Harry, jika melihat bisnis yang dijalankan, hanya Bank Mandiri dan BNI yang harus dimerger karena memainkan bisnis di ranah yang sama. Sementara, bank seperti BTN berada di wilayah yang berbeda karena fokus pada perumahan sederhana.Selain itu, kabar Bank Mandiri yang akan menggunakan obligasi rekap untuk akuisisi BTN juga dianggap menyalahi aturan. "Ini akan jadi masalah tersendiri. Selain itu pun, ada peraturan yang membatasi akusisi lembaga keuangan hanya 40% saja. Sementara, pemerintah punya 60% di BTN, jadi tidak bisa semuanya diambil," tutur Harry.Harry pun menyarankan, jika memang serius melakukan akuisisi BTN, maka proses tersebut paling cepat dilakukan dalam 1 tahun. Itu pun, terang Harry, harus dilakukan secara terbuka. "Jadi saya sarankan Kemen BUMN terbuka, agar segala kecurigaan bisa dihilangkan," ucap dia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
DPR belum terima permohonan akuisisi BTN
JAKARTA. Rencana akuisisi Bank Tabungan Negara (BTN) oleh Bank Mandiri dianggap masih sebatas isu saja. Bahkan, isu tersebut sebenarnya tidak ada sama sekali.Hal tersebut, kata Harry Azhar Aziz, Ketua Komisi XI DPR RI, karena sampai saat ini tidak ada surat resmi atas pengajuan akuisisi BTN yang diterima DPR. "Jadi ini baru sebatas dilingkup Kementerian BUMN saja. Untuk akuisisi ini, harus libatkan banyak pihak, termasuk presiden, komite privatisasi, maupun DPR," terang Harry, Senin (21/4).Harry merinci, dalam keputusan akuisisi BTN, Kemen BUMN harus melibatkan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan sebagai komite privatisasi. Setelah itu, pengajuan akuisisi harus dikonsultasikan ke presiden. Lalu, proses pengajuan selanjutnya berada di Komisi VI dan XI DPR.Jadi, lanjut Harry, kabar akuisisi BTN saat ini belum masalah. " Namun kalau memang benar, maka tetap tunggu dari komite privatisasi. Penjualan saham harus ada konsultasi juga dengan para pegawai. Harus ada persetujuan dua komisi. Jadi, banyak proses yang harus dilalui," tambah Harry.Harry juga menyinggung soal merger antara Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia (BNI). Menurut Harry, jika melihat bisnis yang dijalankan, hanya Bank Mandiri dan BNI yang harus dimerger karena memainkan bisnis di ranah yang sama. Sementara, bank seperti BTN berada di wilayah yang berbeda karena fokus pada perumahan sederhana.Selain itu, kabar Bank Mandiri yang akan menggunakan obligasi rekap untuk akuisisi BTN juga dianggap menyalahi aturan. "Ini akan jadi masalah tersendiri. Selain itu pun, ada peraturan yang membatasi akusisi lembaga keuangan hanya 40% saja. Sementara, pemerintah punya 60% di BTN, jadi tidak bisa semuanya diambil," tutur Harry.Harry pun menyarankan, jika memang serius melakukan akuisisi BTN, maka proses tersebut paling cepat dilakukan dalam 1 tahun. Itu pun, terang Harry, harus dilakukan secara terbuka. "Jadi saya sarankan Kemen BUMN terbuka, agar segala kecurigaan bisa dihilangkan," ucap dia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News