DPR desak adanya UU pengadaan barang dan jasa



JAKARTA. Masih minimnya implementasi sistem pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik menjadi perhatian regulator. Pasalnya, potensi penghematan yang diakibatkan oleh sistem bernama E-Procurement ini besar yakni Rp 21,74 triliun. Berdasarkan data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai lembaga penyelenggara E-Procurement, di tahun 2013 jumlah proyek yang dilelang berjumlah 107.884 dengan nilai pagu Rp 195,33 triliun. Jumlah proyek lelang yang selesai hingga 30 September 2013 terdaftar 91.861 proyek dengan nilai pagu selesai Rp 162,45 triliun. Sedang nilai hasil lelangnya sendiri Rp 140,71 triliun. Berarti, ada penghematan Rp 21,74 triliun. Penghematan ini didapat dari hasil lelang terbuka yang dilakukan melalui LKPP. Melalui sistem elektronik ini, diharapkan proses pengadaan atau tender dapat lebih transparan dan tepercaya karena dilakukan melalui proses monitoring dan audit. Oleh karena itu, melihat pentingnya E-Procurement ini, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis menghendaki agar dapat dibentuk payung hukum berupa Undang-Undang.

"Karena ada 10% penghematan karena dilakukan melalui LKPP," kata Harry dalam diskusi Efektivitas E-Procurement dalam Mendorong Belanja Negara di Jakarta, Senin (30/9). Selama ini, pengadaan secara elektronik baru berlandaskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 yang ditetapkan pada 6 Agustus 2010 lalu. Politisi dari Fraksi Golkar ini menginginkan LKPP untuk segera membuat draft RUU mengenai proses pengadaan barang/jasa. Sebab kalau menunggu pihak pemerintah, akan berlangsung lama. Melihat pagu belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar Rp 1.726,2 triliun, apabila ada penghematan 10% maka ada dana lebih sekitar Rp 170 triliun. Dana ini, terang Harry, dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Yang menjadi kendala sistem E-Procurement adalah masih minimnya pengetahuan pegawai atau pelaku pemerintahan soal proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Saat ini pun, baru 14% Kementerian/Lembaga (K/L) serta 30% kabupaten kota yang menerapkan sistem ini. Direktur E-Procurement Tatang RW menjelaskan alasan K/L seperti Kementerian Pekerjaan Umum (PU) belum menggunakan jasa LKPP karena kekhawatiran akan data yang tidak sinkron. Sedang PU sendiri mempunyai data-data proyek yang besar. Sosialisasi pun menjadi masalah. Karena dengan perpindahan sistem ke E-Procurement perlu dilakukan lagi sosialisasi. "Yang menurut saya itu tidak dapat menjadi alasan," tandas Tatang. Karena masih berbentuk Perpres, maka tidak ada sanksi yang diberikan bagi K/L ataupun daerah yang belum menggunakan jasa LKPP. Maka itu, hendak dibuat peraturan yang lebih tinggi yakni UU agar dapat diberikan sanksi. Kepala Ekonom Mandiri Destry Damayanti menilai sistem ini seharusnya dapat digunakan oleh seluruh K/L dan daerah. Salah satu permasalahan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi kita rendah adalah penyerapan anggaran K/L yang minim. Berdasarkan data Mandiri, kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 hanya 0,1%. Beda jauh dengan Malaysia yang mencapai 2,62% dan Filipina 1,76%. "Ini harus terus disosialisasikan karena dapat menambah sentimen positif ke pasar," tukas Destry. Asal tahu saja, realisasi penyerapan anggaran belanja negara hingga 30 Agustus 2013 baru mencapai 54,8% atau Rp 945,96 triliun dari pagu Rp 1.726,2 triliun dalam APBN-P 2013.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: