JAKARTA. Komisi VI DPR mendesak pemerintah revisi aturan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi bagi sektor pertanian. DPR menilai peraturan menteri perdagangan tersebut tidak memuat sanksi bagi penyelewengan penyaluran pupuk bersubsidi.Anggota Komisi VI DPR Azam Azman Natawijaya Azam menilai, aturan itu sendiri memberikan celah terjadinya penyelewengan. Sebab, dia menilai, aturan yang termuat dalam peraturan menteri perdagangan itu memberikan kewenangan kepada dinas untuk memberikan rekomendasi pemilihan distributor pupuk bersubsidi.Menurutnya, pemilihan distributor seharusnya dilakukan oleh korporasi karena pihak itulah yang dianggap paling tahu mengenai kondisi kebutuhan pupuk per rayon. "Rekomendasi dinas harusnya tidak ada, cukup persetujuan korporasi saja. Kami harap Kementerian BUMN (badan usaha milik negara) berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk tindak lanjuti hal ini," katanya, Kamis (23/6).Hal senada diungkapkan anggota Komisi VI DPR Nasril Bahar. Dia mendesak Kementerian BUMN segera berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk segera merevisi surat keputusan menteri perdagangan tersebut.Dia mengatakan ada banyak hal yang harus diperbaiki terkait tata cara pemberlakuan dan pemberian pupuk bersubsidi pada distributor. Bahkan, Nasril mengatakan, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) yang seharusnya mengawasi distribusi pupuk pun tidak bertugas dengan efektif.Menurutnya, KP3 itu hanya sebagai tameng untuk menutupi pelaku penyelundupan pupuk bersubsidi di level bawah sehingga perannya sebagai pengawas harus diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu, dia mengatakan wewenang penunjukan distributor harus diserahkan pada korporasi melalui beauty contest sehingga meminimalisasi potensi penyelewengan.Sebagai informasi, pemerintah menugaskan produsen pupuk untuk menjamin pengadaan dan penyaluran pupuk hingga sampai pada pengguna akhir yaitu petani. Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/M-DAG/PER/2/2009 yang berlaku sejak 9 Februari 2009.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
DPR desak revisi aturan penyaluran pupuk bersubsidi
JAKARTA. Komisi VI DPR mendesak pemerintah revisi aturan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi bagi sektor pertanian. DPR menilai peraturan menteri perdagangan tersebut tidak memuat sanksi bagi penyelewengan penyaluran pupuk bersubsidi.Anggota Komisi VI DPR Azam Azman Natawijaya Azam menilai, aturan itu sendiri memberikan celah terjadinya penyelewengan. Sebab, dia menilai, aturan yang termuat dalam peraturan menteri perdagangan itu memberikan kewenangan kepada dinas untuk memberikan rekomendasi pemilihan distributor pupuk bersubsidi.Menurutnya, pemilihan distributor seharusnya dilakukan oleh korporasi karena pihak itulah yang dianggap paling tahu mengenai kondisi kebutuhan pupuk per rayon. "Rekomendasi dinas harusnya tidak ada, cukup persetujuan korporasi saja. Kami harap Kementerian BUMN (badan usaha milik negara) berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk tindak lanjuti hal ini," katanya, Kamis (23/6).Hal senada diungkapkan anggota Komisi VI DPR Nasril Bahar. Dia mendesak Kementerian BUMN segera berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk segera merevisi surat keputusan menteri perdagangan tersebut.Dia mengatakan ada banyak hal yang harus diperbaiki terkait tata cara pemberlakuan dan pemberian pupuk bersubsidi pada distributor. Bahkan, Nasril mengatakan, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) yang seharusnya mengawasi distribusi pupuk pun tidak bertugas dengan efektif.Menurutnya, KP3 itu hanya sebagai tameng untuk menutupi pelaku penyelundupan pupuk bersubsidi di level bawah sehingga perannya sebagai pengawas harus diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu, dia mengatakan wewenang penunjukan distributor harus diserahkan pada korporasi melalui beauty contest sehingga meminimalisasi potensi penyelewengan.Sebagai informasi, pemerintah menugaskan produsen pupuk untuk menjamin pengadaan dan penyaluran pupuk hingga sampai pada pengguna akhir yaitu petani. Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/M-DAG/PER/2/2009 yang berlaku sejak 9 Februari 2009.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News