DPR: Harus ada evaluasi proses rekrutmen Hakim MK



JAKARTA. Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu malam lalu (2/10), membuat sebagian kalangan kembali mempertanyakan bagaimana sesungguhnya pola rekrutmen calon Hakim Konstitusi dari unsur DPR.

Anggota Komisi III DPR-RI, Syarifudin Suding mengakui, komisinya merasa kecolongan dalam pemilihan Akil sebagai Ketua MK.

Hal itu terutama, menurut politisi dari Partai Hanura ini, saat dilakukannya pemilihan Akil sebagai Ketua MK untuk kedua kalinya yang tidak melalui proses fit and proper test.


"Ketika itu terjadi perdebatan di Komisi III. Saya menuntut harusnya dibuka ke ruang publik sebelum dilakukan fit and proper test," tandasnya di Gedung DPR (4/10).

Namun, Suding menambahkan, Komisi III memberikan alasan bahwa proses ini sudah menjadi tradisi. "Komisi III beralasan ini sudah ada sejak ketua MK yang pertama (Jimmly Ashiddiqie)," paparnya.

Padahal, dirinya mengaku, sudah memberikan saran ke Komisi III, untuk menjadikan proses ini sebagai kesempatan membuka rekam jejak bagi hakim-hakim terdahulu.

"Saya anggap ini kecolongan, karena satu-dua orang menyuarakan dan dikalahkan oleh mayoritas,” sesalnya.

Ia pun menuntut Komisi III harus bertanggungjawab atas kasus dugaan suap yang membelit Akil Mochtar.

Ke depan, Suding meminta, ada evaluasi pola rekrutmen calon Hakim Konstitusional dan Ketua MK. Dia tidak mempermasalahkan dari golongan mana mereka berasal.

Hal senada dikatakan pengamat Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin. Dia menilai, tidak perlu ada dikotomi parpol atau non-parpol dalam proses rekrutmen Ketua MK.

"Kasus Akil sejauh ini kan duitnya bukan untuk parpol? Untuk kepentingan sendiri bukan? Kasus SKK Migas? Pelakunya akademisi, guru besar lagi," ujarnya di sela diskusi di DPD-RI.

Sementara itu, pendapat lain muncul dari Laode Ida (Wakil Ketua DPD). Dia mengatakan, untuk jabatan Ketua MK, harusnya bukan berasal dari golongan parpol.

"Karena MK itu lembaga negara dan pemimpinnya itu negarawan. Karena itu harus didasarkan pada kompetensi dan intristik. Ini berbeda dengan politisi yang disandarkan pada kepentingan tertentu saja," ungkap Laode. Intinya ada problem rekrutmen lah,” kata Laode.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan