JAKARTA. Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan menyesalkan sikap anggota dewan yang tetap saja bersikukuh melakukan kunjungan kerja ke luar negeri padahal suara penolakan dari masyarakat ramai terdengar. Apalagi tidak sedikit dari anggota dewan yang berangkat ke luar negeri, seperti yang dilakukan Pansus OJK, membawa keluarga dalam kunjungan kerja mereka. Kendati Ketua Pansus OJK menjamin ongkos untuk keluarga anggota dewan yang ikut tidak ditanggung anggaran DPR, namun Abdullah meragukan hal tersebut. "Terlepas dari menggunakan uang dari kantong sendiri, tetap saja membawa anak-istri akan mengganggu tugas kenegaraan. Ini kan bukan acara main-main. Anggota DPR tidak bisa memisahkan mana tugas negara, mana pribadi. Ini makin menguatkan motifnya bukan untuk urusan dinas tapi pelesiran," kata Abdullah kepada KONTAN, Senin, (25/10). Kecurigaan Abdullah bukannya tanpa alasan. Abdullah mencontohkan kasus rombongan haji dari komisi VIII DPR-RI yang biaya akomodasinya difasilitasi Kementerian Agama lewat dana abadi umat. Fasilitas tersebut juga mencakup keluarga anggota dewan yang ikut dalam rombongan. "DPR kan tidak boleh didanai mitra kerja. Tidak tertutup kemungkinan kasus semacam ini terjadi lagi," ungkapnya. Menurut Abdullah, anggota DPR saat ini sudah tidak responsif terhadap kritik dan penolakan publik. Padahal, urusan studi banding soal OJK bisa diganti dengan mendatangkan pakar ekonomi ke DPR atau menggunakan kerjasama antar kedutaan. Dua hal tersebut lebih efisien dan menghemat biaya. Sayang, anggota dewan tak mau mencoba melakukannya. Fraksi-fraksi di DPR yang harusnya melakukan kontrol tidak berbuat apa-apa. Bahkan, tidak ada pernyataan pimpinan partai terkait pelesiran para anggota dewannya. Menurut Abdullah, ada metode studi banding justru malah menguntungkan anggota DPR, misalnya dapat uang perjalanan dinas dan menyertakan anak-istri. “DPR harus melakukan moratorium terhadap beberapa agenda dinas luar negeri kalau serius merespons kritik publik. Kalau tetap abai, DPR memang tidak bisa lagi jadi representasi keterwakilan rakyat," tandasnya. Pada prinsipnya studi banding ke luar negeri bukan cara strategis untuk mencari upaya perbaikan produk legalisasi. Khususnya di tengah banyaknya target produk legalisasi yang belum terealisasi sementara satu tahun masa sidang akan habis.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
DPR harus meninjau kembali agenda jalan-jalannya
JAKARTA. Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan menyesalkan sikap anggota dewan yang tetap saja bersikukuh melakukan kunjungan kerja ke luar negeri padahal suara penolakan dari masyarakat ramai terdengar. Apalagi tidak sedikit dari anggota dewan yang berangkat ke luar negeri, seperti yang dilakukan Pansus OJK, membawa keluarga dalam kunjungan kerja mereka. Kendati Ketua Pansus OJK menjamin ongkos untuk keluarga anggota dewan yang ikut tidak ditanggung anggaran DPR, namun Abdullah meragukan hal tersebut. "Terlepas dari menggunakan uang dari kantong sendiri, tetap saja membawa anak-istri akan mengganggu tugas kenegaraan. Ini kan bukan acara main-main. Anggota DPR tidak bisa memisahkan mana tugas negara, mana pribadi. Ini makin menguatkan motifnya bukan untuk urusan dinas tapi pelesiran," kata Abdullah kepada KONTAN, Senin, (25/10). Kecurigaan Abdullah bukannya tanpa alasan. Abdullah mencontohkan kasus rombongan haji dari komisi VIII DPR-RI yang biaya akomodasinya difasilitasi Kementerian Agama lewat dana abadi umat. Fasilitas tersebut juga mencakup keluarga anggota dewan yang ikut dalam rombongan. "DPR kan tidak boleh didanai mitra kerja. Tidak tertutup kemungkinan kasus semacam ini terjadi lagi," ungkapnya. Menurut Abdullah, anggota DPR saat ini sudah tidak responsif terhadap kritik dan penolakan publik. Padahal, urusan studi banding soal OJK bisa diganti dengan mendatangkan pakar ekonomi ke DPR atau menggunakan kerjasama antar kedutaan. Dua hal tersebut lebih efisien dan menghemat biaya. Sayang, anggota dewan tak mau mencoba melakukannya. Fraksi-fraksi di DPR yang harusnya melakukan kontrol tidak berbuat apa-apa. Bahkan, tidak ada pernyataan pimpinan partai terkait pelesiran para anggota dewannya. Menurut Abdullah, ada metode studi banding justru malah menguntungkan anggota DPR, misalnya dapat uang perjalanan dinas dan menyertakan anak-istri. “DPR harus melakukan moratorium terhadap beberapa agenda dinas luar negeri kalau serius merespons kritik publik. Kalau tetap abai, DPR memang tidak bisa lagi jadi representasi keterwakilan rakyat," tandasnya. Pada prinsipnya studi banding ke luar negeri bukan cara strategis untuk mencari upaya perbaikan produk legalisasi. Khususnya di tengah banyaknya target produk legalisasi yang belum terealisasi sementara satu tahun masa sidang akan habis.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News