Jakarta. Tiga fraksi di Komisi IV DPR menilai kebijakan impor beras sebanyak 300.000 ton dari Vietnam mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam menyusun program ketersediaan pangan. Firman Soebagyo dari fraksi Golkar menjelaskan, pemerintah tidak memiliki perencanaan yang matang dan tidak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada.Fraksinya sudah sejak awal tahun 2010 memperingatkan adanya potensi rawan pangan di bulan Januari-Februari 2010. "Namun ketika itu Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian menyatakan sebaliknya, sehingga tidak memerlukan tambahan pasokan beras," ujar Firman yang merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR di Jakarta, Minggu (24/10).Sama saja dengan fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Komisi IV DPR yang menilai kebijakan pemerintah tersebut sangat tidak masuk akal. Muhammad Prakosa selaku anggota komisi IV dari PDI-P menjelaskan, dengan meningkatnya angka produksi panen beras seharusnya berdampak pada ketersediaan pangan yang cukup. Impor beras dapat menyebabkan semakin besarnya peluang permainan jual beli yang bisa menjatuhkan harga beras nasional. Ia menegaskan bahwa sikap fraksi PDI-P menolak kebijakan impor beras tersebut. "kami jelas menolak, ini menunjukkan keberpihakan pemerintah pada petani sebatas di bibir saja," tegasnya.Perwakilan fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rofi Munowar juga sangat menyayangkan kebijakan impor beras tersebut. Menurutnya, ironis ketika Angka Ramalan II BPS memperkirakan produksi padi mencapai 65,15 juta ton atau setara dengan 38,3 juta ton beras. Kebutuhan nasional untuk tahun 2010 mencapai 32,7 juta ton bisa diartikan ada surplus 5,6 juta ton, alur logika inilah yang tidak nyambung ketika produksi beras nasional surplus namun impor tetap dilakukan.Reformasi Bulog Ketiga politisi ini juga sepakat bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda perbaikan perencanaan jangka panjang penyediaan pangan dalam negeri termasuk mereformasi Perum Bulog.
DPR: Impor beras = inkonsistensi pemerintah
Jakarta. Tiga fraksi di Komisi IV DPR menilai kebijakan impor beras sebanyak 300.000 ton dari Vietnam mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam menyusun program ketersediaan pangan. Firman Soebagyo dari fraksi Golkar menjelaskan, pemerintah tidak memiliki perencanaan yang matang dan tidak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada.Fraksinya sudah sejak awal tahun 2010 memperingatkan adanya potensi rawan pangan di bulan Januari-Februari 2010. "Namun ketika itu Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian menyatakan sebaliknya, sehingga tidak memerlukan tambahan pasokan beras," ujar Firman yang merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR di Jakarta, Minggu (24/10).Sama saja dengan fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Komisi IV DPR yang menilai kebijakan pemerintah tersebut sangat tidak masuk akal. Muhammad Prakosa selaku anggota komisi IV dari PDI-P menjelaskan, dengan meningkatnya angka produksi panen beras seharusnya berdampak pada ketersediaan pangan yang cukup. Impor beras dapat menyebabkan semakin besarnya peluang permainan jual beli yang bisa menjatuhkan harga beras nasional. Ia menegaskan bahwa sikap fraksi PDI-P menolak kebijakan impor beras tersebut. "kami jelas menolak, ini menunjukkan keberpihakan pemerintah pada petani sebatas di bibir saja," tegasnya.Perwakilan fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rofi Munowar juga sangat menyayangkan kebijakan impor beras tersebut. Menurutnya, ironis ketika Angka Ramalan II BPS memperkirakan produksi padi mencapai 65,15 juta ton atau setara dengan 38,3 juta ton beras. Kebutuhan nasional untuk tahun 2010 mencapai 32,7 juta ton bisa diartikan ada surplus 5,6 juta ton, alur logika inilah yang tidak nyambung ketika produksi beras nasional surplus namun impor tetap dilakukan.Reformasi Bulog Ketiga politisi ini juga sepakat bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda perbaikan perencanaan jangka panjang penyediaan pangan dalam negeri termasuk mereformasi Perum Bulog.