DPR ingatkan Rini Soemarno soal usulan PMN ke BUMN



JAKARTA. Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengingatkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno untuk tidak seenaknya mengusulkan besaran penyertaan modal negara (PMN) untuk perusahaan negara. Menurut dia, persoalan PMN merupakan urusan Menteri Keuangan dan DPR.

“Sangat jelas bahwa kewenangan penetapan jumlah PMN untuk BUMN yang dialokasikan pada RAPBN-P 2015 merupakan kewenangan penuh Menteri Keuangan dengan persetujuan DPR dalam hal ini Komisi XI. Karena Menteri Keuangan adalah mitra kerja dari Komisi XI. Kalau saat ini Komisi VI membahas masalah tersebut mungkin pada tataran normatif pada kinerja BUMN sebagai mitra kerja apakah pantas PMN diberikan berdasarkan kriteria dan alasan yang beragam,” kata Misbakhun di Jakarta, Senin (2/2/2015).

Misbakhun menambahkan, usulan PMN dalam RAPBN-P 2015 itu memang tengah dibahas DPR dengan melibatkan Komisi XI yang membidangi keuangan, Komisi VI DPR bidang BUMN dan Badan Anggaran. Hanya saja, merujuk pada aturan perundang-undangan yang ada, Misbakhun menegaskan bahwa domain soal PMN itu lebih kuat di menteri keuangan, dan bukan di menteri BUMN.


“Domain kewenangan UU Keuangan Negara adalah menteri keuangan yang merupakan mitra kerja Komisi XI DPR. Sehingga penetapan besaran PMN untuk BUMN adalah kewenangan penuh menteri keuangan Komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankan,” ujarnya.

Misbakhun juga mempertanyakan adanya lonjakan drastis dalam usulan tersebut. Dia mengungkapkan, usulan setoran PMN naik fantastis hingga 1.328,7%, dari Rp 5,107 triliun pada APBN 2015 menjadi Rp 72,97 triliun dalam RAPBN-P 2015. “Usulan kenaikannya mencapai Rp 67,863 triliun,” ujarnya.

Misbakhun mengingatkan bahwa Rini berpotensi melanggar undang-undang. Sebab, kata dia, hal ini sudah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam pasal 1 ayat (1) UU itu disebutkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang atau berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban negara tersebut.

Ketentuan itu, kata dia, diperjelas dalam pasal 2 dalam UU yang sama, bahwa keuangan negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dapat dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (8) UU Keuangan Negara dipertegas bahwa penggunaan surplus penerimaan negara/daerah untuk membentuk dana cadangan atau dana penyertaan pada perusahaan negara/daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD. (Dani Prabowo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa