JAKARTA. Setelah tertunda hampir 3 bulan sejak rapat terakhir 18 Juni 2009 lalu, pada hari Kamis (18/9) akhirnya RUU Peradilan Militer kembali dibahas. Agenda pembahasan saat itu ialah mendengarkan tanggapan dan usulan pemerintah tentang kewenangan peradilan umum dalam menangani tindak pidana umum yang dilakukan prajurit di lingkungan militer.Dalam pembahasan itu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berkeras menolak usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membatasi kewenangan peradilan umum untuk mengadili prajurit TNI.Jowono ingin, jika prajurit TNI diadili di pengadilan umum, proses penyidikan tetap dilakukan oleh polisi militer. "Kami menyetujui militer harus dibedakan, namun kami mengusulkan kewenangan penyidik diberikan ke polisi militer," kata Juwono di depan rapat Pansus RUU Peradilan Militer.
Dalam pembahasan RUU Peradilan Militer ini, DPR lebih setuju prajurit TNI diperiksa oleh penyidik kepolisian, jika prajurit itu melanggar tindak pidana umum. Ini sesuai dengan Kitab Umum Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No.8/1981. Sementara Pemerintah kewenangan menyidik tetap diberikan kepada polisi militer. Alasannya, Undang-Undang No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak secara jelas mengatur hal ini. "Jika kewenangan ini berubah, maka akan terjadi perubahan substansi juga," kata Juwono. Juwono mensinyalir ada yang berubah dalam rumusan terbaru yang diajukan oleh tim sinkronisasi Pansus RUU Peradilan Militer. "Kami minta jika ada usulan dari tim sinkronisasi, maka perubahannya tidak boleh mengubah substansi. Pasal-pasal yang sudah disetujui Panja, tidak bisa diubah tim sinkronisasi," kata Juwono keras. Wakil Ketua pansus dari Fraksi Partai Amanat Nasional Azlaini Agus langsung membantah substansi dari RUU Peradilan Militer ada berubah. "Substansi yang telah disetujui bersama ialah prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di peradilan umum sedangkan tindak pidana militer diadili di pengadilan militer," terang Azlaini.