DPR: Kebijakan PTKP berdasar UMP hambat daya beli



JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menyatakan bahwa ingin mengkaji penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan upah minimum provinsi (UMP) di masing-masing daerah. Sebelumnya, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016, Pemerintah menetapkan kenaikan PTKP menjadi Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan dari sebelumnya Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan.

Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi. Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, pihaknya ingin mengkaji bersama penerapan PTKP yang berbeda di setiap wilayah.

Pasalnya, ada penurunan penerimaan pajak di daerah-daerah yang UMP-nya rendah. "Kalau saya usul, sesuaikan dengan UMP. Dengan adanya (kenaikan) PTKP ini, Kanwil Yogyakarta penerimaannya jatuh. Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)-nya sangat menurun karena banyak yang di bawah PTKP," kata Ken, Kamis (20/7). Terkait usul ini, Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno mengatakan bahwa pihaknya akan mencermati hal ini. Pasalnya, penyesuaian PTKP berdasarkan UMP akan memukul daya beli. “Bila Anda dikenai pajak maka daya beli berkurang. Kayak Thailand tarif pajaknya kan diturunkan. Kecuali kalau negaranya sudah mapan seperti Kanada, tarifnya tinggi. Karena kaya sekali orangnya, pendapatan per kapitanya kan US$ 60.000 per tahun,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/7). Ia melanjutkan, adanya ide ini akan membuat peran pemerataan ekonomi yang selama ini dilakukan pemerintah berkurang. Menurut Hendrawan, tidak ideal apabila penerimaan naik tapi harus ‘dibayar’ dengan saya beli masyarakat yang merosot. “Tidak ideal karena ekonomi Indonesia 57% digerakkan oleh konsumsi. Kalau Anda habis rajin belanja, ekonomi bergerak,” ucapnya. Ia menilai, kebijakan PTKP secara nasional yang Rp 4,5 juta per bulan sudah bagus, “Lebih bagus lagi dinaikkan daya belinya. Semua pajak akan kurangi daya beli kita,” tandasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dessy Rosalina