DPR kebut penyelesaaian draf RUU BUMN



JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kebut penyelesaian draf Revisi Undang Undang (RUU) tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Masa sidang yang akan datang, pembahasan RUU BUMN dengan pemerintah diharapkan sudah dapat dilakukan, sehingga akhir tahun dapat segera disahkan.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Azzam Azman Natawijana mengatakan, penyelesaian pembahasan RUU tentang BUMN ini terus didorong karena masih banyak persoalan dalam pengelolaan BUMN yang ada saat ini.

"Masih ada ketimpangan dalam pengelolaan BUMN berdasarkan entitas bisnis atau entitas bisnis negara," kata Azzam, Kamis (7/4).


Meski saat ini draf RUU tentang BUMN tersebut sudah disusun, namun Azzam masih enggan untuk mengatakan perinciannya. Hal tersebut dikarenakan masih diperlukan perbaikan-perbaikan dan mendapatkan masukan dari beberapa pihak.

Adapun bebrapa inti persoalan yang menjadi perhatian dalam isi RUU BUMN itu diantaranya Pertama, filosofi pembentukan BUMN. Selama ini BUMN hanyalah perusahaan yang sahamnnya 51% dimiliki oleh negara sementara itu tidak ada kejelasan tentang perusahaan yang sahamnya dimiliki dibawah 51% oleh negara.

Kedua, Undang-undang No 19 tahun 2003 tentang BUMN tidak menegaskan pengaturan mengenai penyertaan modal negara (PMN) menyebabkan penafsiran bahwa yang dimaksud dengan modal negara harus berupa uang.

Menurut ketentuan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan negara meliputi uang dan barang yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu penyertaan modal negara pada BUMN yang berupa barang juga harus melalui persetujuan DPR karena penyertaan modal negara ini bersumber dari APBN.

Ketiga, Pengangkatan komisaris atau Dewan Pengawas harus lebih diperjelas mengenai kompetensinya, karena banyak komisaris yang tidak memiliki kompetensi, banyak komisaris yang rangkap jabatan.

Konflik kepentingan antara dewan komisaris yang rangkap jabatan seperti pejabat kementerian, PNS, utusan partai politik, direksi perusahaan swasta, direksi holding yang menjadi komisaris di anak perusahaan.

Keempat, belum tegasnya rumusan fungsi pengawasan DPR terhadap pemindahtanganan/pelepasan/dan KSO aset BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 46 Ayat (1) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Maka dengan adanya penyempurnaan terhadap Undang-Undang No 19 tahun 2003 ini DPR dapat melakukan pengawasan maksimal terhadap BUMN sehingga berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. "Nanti untuk proses IPO anak perusahaan, harus mendapat persetujuan dari DPR terlebih dahulu," kata Azzam.

Fithra Faisa pakar ekonomi LPEM UI mengatakan, masih banyak fungsi perusahaan BUMN yang setengah-setengah, yakni untuk kepentingan publik dan bisnis. "Bagaimana perusahaan BUMN bisa memiliki fungsi ganda," kata Fithra.

Oleh karena itu, perlu penekanan yang jelas sektor mana saja dari perusahaan BUMN yang fungsinya untuk bisnis, serta yang berfungsi untuk kepentingan publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia