DPR menolak Eddy Mulyadi jadi anggota BPK



JAKARTA. Hujan interupsi mewarnai rapat paripurna penetapan lima anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terpilih hasil uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan Komisi XI DPR pekan lalu. Hujan interupsi ini terkait terpilihnya Eddy Mulyadi Soepardi sebagai BPK.

Pria yang menjabat sebagai Deputi Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ini dianggap melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan sehingga penetapan ini harus ditunda. Eddy terpilih bersama empat anggota terpilih lainnya, yakni Moermahadi Soerja Djanegara, Harry Azhar Azis, Achsanul Qosasi, dan Rizal Djalil.

Anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan, dirinya memperoleh surat dari koalisi masyarakat anti korupsi, yang isinya ada calon anggota BPK terpilih yang cacat hukum karena masih menjabatsebagai pejabat negara. "Kami ingin ini menjadi catatan, karena ada tiga undang-undang (UU) yang dilanggar, yakni UU Keuangan Negara, UU BPK, dan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," ujar Eva, Selasa (23/9).


Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Chaeruman Harahap menambahkan, dari pengalaman sebelumnya pada pemilihan anggota BPK periode 2009-2014, ada pula calon yang dipilih yang merupakan pejabat BPK RI Jawa Barat. Gunawan Sidauruk dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) BPK, Dharma Bhakti.

Menurutnya Gunawan dan Dharma tidak memenuhi syarat karena masih menjabat sebagai pejabat pengelola keuangan negara. Sesuai dengan pasal 13 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan calon anggota BPK tidak boleh menjabat sebagai pengelola keuangan negara setidaknya selama dua tahun terakhir.

"Ternyata, Eddy Mulyadi adalah deputi bidang investigasi BPKP dan masuk kategori pengelola keuangan. Oleh karena itu harus dipertanyakan bahwa tidak memenuhi persyaratan menjadi anggota BPK," katanya.

Anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Malik Haramain menambahkan selain masih menjadi pejabat pengelola keuangan negara, Eddy Mulyadi juga masih menjabat komisaris di perusahaan BUMN, yakni Pertamina EP, ini menjadi kontradiktif dengan pekerjaanya nanti yang juga akan mengaudit perusahaan BUMN. "Jadi, kami tidak ingin anggota BPK punya konflik kepentingan dengan BUMN," katanya.

Keberadaan Eddy dalam perusahaan plat merah diharapkan menjadi  pertimbangan, bahwa aturan main untuk pencalonan anggota BPK sudah dilanggar, sehingga pengesahan Eddy sebagai anggota BPK terpilih harus ditunda.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Teguh Juwarno mengatakan, dalam daftar riwayat hidup atau Eddy dari tahun 2011-2014 tercantum bahwa yang bersangkutan duduk sebagai komisaris di Angkasa Pura I dan komisaris PT Pertamina EP.

Namun anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Eki Muharam menyebut, seluruh anggota Komisi XI tentu tidak akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan kepada Eddy Mulyadi jika telah melanggar UU. "Ketika kami menyatakan lulus atau tidak lulus seluruh fraksi tidak ada yang keberatan, lalu proses ini telah berlangsung dan telah di sampaikan ke publik. Saya yakin proses itu tidak melanggar UU," ungkapnya.

Wakil Ketua Komisi XI, Andi Timo Pangerang mengatakan, Eddy Mulyadi selaku calon terpilih telah membuat surat pernyataan bahwa yang bersangkuta sudah lebih dari dua tahun tak mengelola keuangan di institusi BPKP, hal tersebut diperkuat dengan adanya surat dari Kepala BPKP terkait hal ini. "Semua prosedur sudah kami laksanakan dengan sesuai ketentuan," katanya.

Pimpinan DPR, Priyo Budi Santoso akhirnya memutuskan untuk mengesahkan empat calon anggota BPK terpilih minus Eddy Mulyadi yang keputusannya menunggu tafsir dari Mahkamah Agung (MA) pada 29 September mendatang. Menurutnya, jika akhirnya MA mengatakan Eddy Mulyadi tak layak, maka calon yang bersaing dengan Eddy untuk memperoleh kursi BPK, yakni Nur Yasin akan langsung ditetapkan sebagai calon anggota BPK terpilih untuk dilantik pada Oktober mendatang.

Mendengar putusan DPR tersebut, Eddy menyerahkan mekanismenya pada DPR. Menurutnya pertentangan anggota parlemen karena dirinya sebagai komisaris Pertamina EP, dirinya akan mundur begitu disahkan menjadi anggota BPK.

Dia pun mempertanyakan jabatan komisaris BUMN ini mengganjal dirinya menjadi anggota BPK, padahal sebelumnya Taufiqurrahman Ruki pernah menjadi anggota BPK ketika juga menjabat sebagai komisaris BUMN yakni PT Krakatau Steel. "Beliau tak dipermasalahkan," ungkapnya.

Mengenai jabatan sebagai deputi di BPKP, Eddy meyakinkan bahwa dirinya tak mengelola keuangan BPKP. Menurutnya selama ini keuangan BPKP dikelola oleh Sekretaris Utama (Sestama) BPKP. Menurutnya hujan interupsi dari anggota DPR serta pernyataan sejumlah koalisi masyarakat anti korupsi yang mempermasalahkan dirinya sebagai calon terpilih anggota BPK tak lebih dari sebuah interpretasi. "Saya juga boleh menggunakan interpretasi saya," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa