JAKARTA. Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha, protes karena pendapatan pajak dari industri minyak dan gas (migas) sebesar Rp 278 triliun tidak kembali sepeser pun untuk menggalakkan industri migas. Menurutnya, jika penerimaan negara itu bisa dialokasikan untuk melakukan pemetaan potensi migas, Indonesia bakal memiliki basis industri migas yang baik."Kita perlu membentuk Petroleum Fund, di mana 10 persen dari pendapatan migas nasional harus digunakan untuk mengeskplorasi data-data migas. Misal Indonesia mempunyai data-data sampai proven research, bisa dibayangkan posisi tawar kita (saat tender) lebih tinggi,” kata Satya dalam diskusi bertajuk ‘Gilas Mafia Migas’, di Jakarta, Sabtu (23/11/2013). Selama ini, lanjut Satya, proses pemetaan potensi migas dilakukan oleh kontraktor asing. Itu membuat Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang baik karena tidak bisa menunjukkan titik-titik yang well proven untuk dieksplorasi. Oleh karena itu, ia mengatakan akan memasukkan rencana pengalokasian anggaran untuk industri migas dalam revisi Undang– Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di sisi lain, dalam revisi UU tersebut Satya mengatakan harus dipertimbangkan apakah harus ada pemusatan kewenangan ataukah distribusi kewenganan dalam industri migas. “Itu (revisi UU) jauh lebih bermanfaat daripada memindah-pindahkan kewenangan. Itu lebih baik daripada kita melempar kewenangan karena dicurigai sesuatu. Jangan sampai dia (Pertamina) merasa mengemban tugas yang bukan menjadi core business-nya,” sindir Satya mengomentari penjelasan Juru Bicara SKK Migas, Elan Budiantoro. Sebelumnya, Elan mengatakan, pembagian kewenangan di industri migas sudah dilakuan. Seperti, saat ini SKK Migas menjalankan peran sebagai pengawas dan pelaksana di sektor hulu migas, sementara PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana tender. (Estu Suryowati)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
DPR minta kembalikan 10% pajak migas ke industri
JAKARTA. Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha, protes karena pendapatan pajak dari industri minyak dan gas (migas) sebesar Rp 278 triliun tidak kembali sepeser pun untuk menggalakkan industri migas. Menurutnya, jika penerimaan negara itu bisa dialokasikan untuk melakukan pemetaan potensi migas, Indonesia bakal memiliki basis industri migas yang baik."Kita perlu membentuk Petroleum Fund, di mana 10 persen dari pendapatan migas nasional harus digunakan untuk mengeskplorasi data-data migas. Misal Indonesia mempunyai data-data sampai proven research, bisa dibayangkan posisi tawar kita (saat tender) lebih tinggi,” kata Satya dalam diskusi bertajuk ‘Gilas Mafia Migas’, di Jakarta, Sabtu (23/11/2013). Selama ini, lanjut Satya, proses pemetaan potensi migas dilakukan oleh kontraktor asing. Itu membuat Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang baik karena tidak bisa menunjukkan titik-titik yang well proven untuk dieksplorasi. Oleh karena itu, ia mengatakan akan memasukkan rencana pengalokasian anggaran untuk industri migas dalam revisi Undang– Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di sisi lain, dalam revisi UU tersebut Satya mengatakan harus dipertimbangkan apakah harus ada pemusatan kewenangan ataukah distribusi kewenganan dalam industri migas. “Itu (revisi UU) jauh lebih bermanfaat daripada memindah-pindahkan kewenangan. Itu lebih baik daripada kita melempar kewenangan karena dicurigai sesuatu. Jangan sampai dia (Pertamina) merasa mengemban tugas yang bukan menjadi core business-nya,” sindir Satya mengomentari penjelasan Juru Bicara SKK Migas, Elan Budiantoro. Sebelumnya, Elan mengatakan, pembagian kewenangan di industri migas sudah dilakuan. Seperti, saat ini SKK Migas menjalankan peran sebagai pengawas dan pelaksana di sektor hulu migas, sementara PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana tender. (Estu Suryowati)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News