JAKARTA. Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengakui bawa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) baru bisa dimulai pada tahun 2016. Sebab utamanya, pihak Kementerian Keuangan belum siap untuk melakukan pembahasan pada tahun ini. Menurut Fadel, DPR sangat menyadari pentingnya kehadiran UU JPSK. Karena selama ini Indonesia memang belum memiliki aturan jelas dalam penanganan krisis sistem keuangan jika Indonesia mengalami krisis ekonomi. "Padahal perlu ada harmonisasi kebijakan keuangan dan perbankan agar pertumbuhan ekonomi kita tetap kuat, berimbang dan berkelanjutan," kata Fadel di Jakarta, Selasa (9/6). Fadel mengakui biaya penyelesaian krisis di sektor perbankan bisa sangat besar dan menyedot dana negara. Di tahun 1997-1998 saat Indonesia terkena krisis, Indonesia menggelentorkan 34,5% dari PDB untuk mengatasi krisis perbankan. Bahkan Chili pada saat itu juga mengeluarkan 41,2% dari PDB. "Bisa dibayangkan betapa besarnya uang negara yang harus dikeluarkan," ujarnya. Oleh sebab itu, DPR berharap pembahasan RUU JPSK bisa segera dimulai. Sayangnya pihak Kementerian Keuangan tahun ini belum siap memulai pembahasan. "Sehingga pembahasan RUU JPSK baru bisa kita masukkan prolegnas 2016," ujar Fadel. Namun Fadel menegaskan harmonisasi aturan perundang-undangan yang berkaitan sistem keuangan di Indonesia tetap terus dilakukan saat ini. "Oleh sebab itu, RUU Bank Indonesia dan RUU Perbankan masuk prolegnas dan masih dibahas tahun ini," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
DPR: Pembahasan RUU JPSK baru bisa dimulai 2016
JAKARTA. Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengakui bawa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) baru bisa dimulai pada tahun 2016. Sebab utamanya, pihak Kementerian Keuangan belum siap untuk melakukan pembahasan pada tahun ini. Menurut Fadel, DPR sangat menyadari pentingnya kehadiran UU JPSK. Karena selama ini Indonesia memang belum memiliki aturan jelas dalam penanganan krisis sistem keuangan jika Indonesia mengalami krisis ekonomi. "Padahal perlu ada harmonisasi kebijakan keuangan dan perbankan agar pertumbuhan ekonomi kita tetap kuat, berimbang dan berkelanjutan," kata Fadel di Jakarta, Selasa (9/6). Fadel mengakui biaya penyelesaian krisis di sektor perbankan bisa sangat besar dan menyedot dana negara. Di tahun 1997-1998 saat Indonesia terkena krisis, Indonesia menggelentorkan 34,5% dari PDB untuk mengatasi krisis perbankan. Bahkan Chili pada saat itu juga mengeluarkan 41,2% dari PDB. "Bisa dibayangkan betapa besarnya uang negara yang harus dikeluarkan," ujarnya. Oleh sebab itu, DPR berharap pembahasan RUU JPSK bisa segera dimulai. Sayangnya pihak Kementerian Keuangan tahun ini belum siap memulai pembahasan. "Sehingga pembahasan RUU JPSK baru bisa kita masukkan prolegnas 2016," ujar Fadel. Namun Fadel menegaskan harmonisasi aturan perundang-undangan yang berkaitan sistem keuangan di Indonesia tetap terus dilakukan saat ini. "Oleh sebab itu, RUU Bank Indonesia dan RUU Perbankan masuk prolegnas dan masih dibahas tahun ini," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News