JAKARTA. Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyebutkan target kenaikan cukai rokok sebesar 23% tahun 2016 tidak akan tercapai. Pasalnya, di tengah perekonomian yang tidak menentu dan daya beli masyarakat pun juga ikut menurun. “Bila target meleset, tentu negara harus memikirkan kekurangan pemasukan APBN, bisa repot jadinya," katanya, Senin (14/9). Setidaknya, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan untuk menentukan kenaikan cukai rokok. “Apalah industri tersebut sedang tidak bermasalah? Bagaimana pertumbuhannya? Bukankah banyak pabrik yang tutup, semua itu harus jadi pertimbangan," jelasnya.
Melihat kondisi itu, Misbkhun berpendapat kenaikan cukai rokok yang relevan adalah sekitar 5 sampai 7 %. Sebagai catatan, target penerimaan cukai 2015 menurut APBN adalah Rp 120,6 triliun. Ia menambahkan tembakau selama ini menjadi sumber utama pendapatan cukai dengan porsi sebesar 96 %. Uniknya, sektor itu menjadi satu-satunya produk yang dihantam kenaikan cukai signifikan. Semuanya diduga dilakukan demi target pendapatan cukai dinyatakan realistis. Sementara kondisi di lapangan, industri tembakau sedang kesulitan. Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) pun mempertanyakan mengapa pemerintah selalu menjadikan CHT sebagai sumber penerimaan yang paling pasti saat penerimaan dari pos lain gagal mencapai target. Hal tersebut kemudian membuat pemerintah selalu menaikkan tarif CHT demi mengejar penerimaan negara. “Kenaikan tarif harus dibarengi pertumbuhan volume, sebab produksi saat ini bukan untuk memenuhi permintaan. Apabila pemerintah bersikeras untuk menaikkan target cukai secara eksesif, maka pemerintah harus mengantisipasi kemungkinan target tersebut tidak dapat dicapai oleh pelaku industri tembakau,” tegas Yustinus. Misbakhun mendesak komitmen pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi objek cukai baru. Padahal, menurut dia, pemerintah bisa saja tak memikirkan intensifikasi cukai dengan cara menaikkan cukai rokok setiap tahun. Karena dampaknya juga akan sangat besar. Menurutnya, pemerintah bisa menaikkan cukai dari barang lain seperti minuman berpemanis dan bahan bakar.
“Objek ini sebagai potensi barang kena cukai karena berdampak pada kesehatan. Minuman bersoda juga buruk bagi kesehatan. Jangan hanya menaikkan cukai rokok tiap tahun," lanjutnya. Menurut Misbakhun, kenaikan cukai yang terlampau tinggi akan mengakibatkan turunnya daya beli. Faktanya, jumlah pabrikan rokok serta jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri tersebut terus berkurang secara drastis. Pada 2010 lalu, jumlah pabrik rokok mencapai 1994 dan sampai akhir tahun lalu jumlahnya menyusut menjadi 995 saja. Hal itu akan mengakibatkan penurunan produksi yang bisa berujung kepada pemutusan hubungan kerja (PHK). Apabila PHK terjadi dan pabrik rokok terganggu, maka yang dirugikan adalah penyerapan bahan baku rokok, yakni petani tembakau. (Sanusi) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto