JAKARTA. Pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih saja mandek sampai saat ini. Terakhir, DPR mempersoalkan perangkingan calon pimpinan yang dibuat oleh Panitia Seleksi (pansel). Tapi menurut anggota pansel Saldi Isra, perankingan tersebut tidak harus diterima oleh DPR. “Kalau DPR punya kriteria yang lebih tegas ya bisa dipakai. Asalkan itu, kriterianya jelas, baik, dan bisa dipertanggungjawabkan,” katanya. Ia pun menegaskan pansel hanya berusaha menunjukkan komitmen pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait status pimpinan KPK. Saldi mengatakan dirinya sempat ditanya seorang anggota DPR kenapa pansel berani membuat ranking. Menurutnya ranking itu demi rasionalisasi saja. Kalau ada sepuluh nama, harus dikeluarkan dua nama maka ranking itulah dasarnya. Justru kalau tidak ada ranking maka tidak akan dasar penyeleksian. Ia menilai sama sekali tidak ada salahnya memberikan ranking, apalagi ada fakta-fakta kriteria yang diberikan. Dalam seleksi tahap pertama misalnya, semua yang urusan administrasinya beres maka langsung diloloskan. Setelah itu baru pansel menelaah secara mendalam terkait integritas, kepemimpinan, independensi, dan kemampuan pribadi. Namun di luar itu ada catatan tambahan, yakni pansel harus memilih orang yang nantinya diperkirakan tidak akan memberi beban berat pada KPK di luar masalah pemberantasan korupsi. “Kalau punya catatan masa lalu berpotensi memberi beban berat pada KPK itu tidak kita loloskan,” katanya. Problem mendasar yang dihadapi KPK sekarang, katanya, karena ada beberapa komisioner yang secara langsung maupun tidak memberi beban tambahan pada KPK. Sebut saja upaya kriminalisasi Bibit-Chandra (dua komisioner KPK), serta pelbagai isu yang terlontar dari mulut Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat yang terjerat kasus korupsi wisma atlet Palembang. Akibatnya konsentrasi KPK terpecah antara menjalankan kewenangan dengan persoalan internal yang menyeruak ke permukaan. Ia mengakui nama-nama calon pimpinan KPK yang masuk di periode ini tidak sebaik periode sebelumnya. Padahal pansel sudah berupaya melakukan pendekatan lain, menghubungi orang yang dianggap kompeten untuk bersedia mengajukan diri sebagai calon. “Tapi ada beberapa catatan untuk hal ini, mereka yang mengajukan dan yang diajukan harus menyebutkan secara terbuka dalam rapat pleno, serta menegaskan bahwa tidak ada iming-iming lolos otomatis,” ujarnya. Apa calon-calon sekarang sudah memenuhi kriteria yang sudah disebutkan? Menurutnya itulah ruang bagi DPR untuk melakukan pelacakan. Kan nama-nama calon sudah diserahkan sejak Agustus, dan pemilihan diputuskan pada Oktober atau November, jadi ada cukup banyak waktu bagi DPR untuk melacak rekam jejak nama calon yang ada. “Misalnya terkait nama Haryanto Sutadi (mantan polisi yang lolos pansel). Apa-apa yang belum selesai seperti itu bisa dilanjutkan DPR, silakan kalau mau didalami.” katanya. Ketimbang meributkan jumlah, menurutnya, lebih baik DPR mulai fokus mendalami nama-nama yang ada. KPK saat ini butuh orang yang bisa membangun komunikasi lintas departemen. Kemudian, memimpin KPK adalah bersifat tim dan bukan perorangan. Untuk itu lebih baik bila DPR pun bisa meletakkan kerangka pemilihan dalam sudut pandang kolektif. “Jangan hanya menempatkan nama-nama itu sendiri-sendiri. Ibaratnya, harus ada pemimpin yang bisa menjadi penyerang, kemudian ada yang bisa menjadi pemain tengah, pemain belakang, dan kemudian kiper,” tuturnya.
DPR tidak harus ikuti ranking dari pansel untuk menentukan pimpinan KPK
JAKARTA. Pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih saja mandek sampai saat ini. Terakhir, DPR mempersoalkan perangkingan calon pimpinan yang dibuat oleh Panitia Seleksi (pansel). Tapi menurut anggota pansel Saldi Isra, perankingan tersebut tidak harus diterima oleh DPR. “Kalau DPR punya kriteria yang lebih tegas ya bisa dipakai. Asalkan itu, kriterianya jelas, baik, dan bisa dipertanggungjawabkan,” katanya. Ia pun menegaskan pansel hanya berusaha menunjukkan komitmen pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait status pimpinan KPK. Saldi mengatakan dirinya sempat ditanya seorang anggota DPR kenapa pansel berani membuat ranking. Menurutnya ranking itu demi rasionalisasi saja. Kalau ada sepuluh nama, harus dikeluarkan dua nama maka ranking itulah dasarnya. Justru kalau tidak ada ranking maka tidak akan dasar penyeleksian. Ia menilai sama sekali tidak ada salahnya memberikan ranking, apalagi ada fakta-fakta kriteria yang diberikan. Dalam seleksi tahap pertama misalnya, semua yang urusan administrasinya beres maka langsung diloloskan. Setelah itu baru pansel menelaah secara mendalam terkait integritas, kepemimpinan, independensi, dan kemampuan pribadi. Namun di luar itu ada catatan tambahan, yakni pansel harus memilih orang yang nantinya diperkirakan tidak akan memberi beban berat pada KPK di luar masalah pemberantasan korupsi. “Kalau punya catatan masa lalu berpotensi memberi beban berat pada KPK itu tidak kita loloskan,” katanya. Problem mendasar yang dihadapi KPK sekarang, katanya, karena ada beberapa komisioner yang secara langsung maupun tidak memberi beban tambahan pada KPK. Sebut saja upaya kriminalisasi Bibit-Chandra (dua komisioner KPK), serta pelbagai isu yang terlontar dari mulut Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat yang terjerat kasus korupsi wisma atlet Palembang. Akibatnya konsentrasi KPK terpecah antara menjalankan kewenangan dengan persoalan internal yang menyeruak ke permukaan. Ia mengakui nama-nama calon pimpinan KPK yang masuk di periode ini tidak sebaik periode sebelumnya. Padahal pansel sudah berupaya melakukan pendekatan lain, menghubungi orang yang dianggap kompeten untuk bersedia mengajukan diri sebagai calon. “Tapi ada beberapa catatan untuk hal ini, mereka yang mengajukan dan yang diajukan harus menyebutkan secara terbuka dalam rapat pleno, serta menegaskan bahwa tidak ada iming-iming lolos otomatis,” ujarnya. Apa calon-calon sekarang sudah memenuhi kriteria yang sudah disebutkan? Menurutnya itulah ruang bagi DPR untuk melakukan pelacakan. Kan nama-nama calon sudah diserahkan sejak Agustus, dan pemilihan diputuskan pada Oktober atau November, jadi ada cukup banyak waktu bagi DPR untuk melacak rekam jejak nama calon yang ada. “Misalnya terkait nama Haryanto Sutadi (mantan polisi yang lolos pansel). Apa-apa yang belum selesai seperti itu bisa dilanjutkan DPR, silakan kalau mau didalami.” katanya. Ketimbang meributkan jumlah, menurutnya, lebih baik DPR mulai fokus mendalami nama-nama yang ada. KPK saat ini butuh orang yang bisa membangun komunikasi lintas departemen. Kemudian, memimpin KPK adalah bersifat tim dan bukan perorangan. Untuk itu lebih baik bila DPR pun bisa meletakkan kerangka pemilihan dalam sudut pandang kolektif. “Jangan hanya menempatkan nama-nama itu sendiri-sendiri. Ibaratnya, harus ada pemimpin yang bisa menjadi penyerang, kemudian ada yang bisa menjadi pemain tengah, pemain belakang, dan kemudian kiper,” tuturnya.