DPR tuding PLN malas kembangkan energi alternatif



JAKARTA. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PAN Ir Alimin Abdullah menuding Perusahaan Listrik Negara (PLN) malas mengembangkan energi terbarukan. Buktinya margin usaha PLN selama ini tidak pernah dipergunakan secara optimal untuk pembangkit listrik dengan energi alternatif dan terbarukan. Ketika ditemui Kontan di Gedung DPR, Jumat, (31/5), Alimin menganggap pangkal persoalannya adalah PLN malas mengembangkan energi alternatif dan terbarukan karena sudah telanjur menikmati subsidi BBM yang selama ini digelontorkan negara. "DPR selalu dipaksakan untuk menyetujui pembengkakan subsidi bagi PLN selama ini," kata Alimin. Menurutnya, kondisi ini tidak sepantasnya terjadi. Mengingat Indonesia adalah negeri yang memiliki kekayaan energi terbarukan yang luar biasa. "Padahal energi air, sinar matahari, geothermal, angin kita luar biasa," jelas Alimin. Alimin menyindir PLN yang semestinya merasa malu dengan Norwegia. Di Norwegia, 98% pembangkit listrik di negara itu menggunakan tenaga air yang bergerak. Padahal Norwegia juga menghasilkan minyak 1.800.000 barel/hari. Selain itu, Norwegia juga merupakan negara penghasil gas terbesar kedua di dunia. "Tapi mereka tetap mau menggunakan tenaga air karena lebih murah, tidak bergantung ICP dan nilai tukar dolar," ujar Alimin. Kekecewaan Alimin semakin menjadi mengingat DPR selama ini menyetujui agar pemerintah memberikan margin usaha sebesar 7%. Dengan margin sebesar itu, PLN mempunyai dana Rp 14 triliun. Ironisnya, hingga detik ini PLN tidak kunjung membuat kemajuan dengan membangun pembangkit listrik tenaga air, misalnya. "Begitu juga pembangkit listrik dengan energi alternatif seperti batu bara, gas dan lain-lain, enggak ada kerja PLN," pungkas Alimin. Alimin yakin jika PLN mau, Indonesia sebetulnya bisa bebas sama sekali dari ketergantungan terhadap BBM untuk memproduksi listrik. Sebagai negara khatulistiwa, Indonesia jauh lebih kaya dari Norwegia dalam hal tenaga surya. "Begitu juga tenaga angin, air dan lain sebagainya, kita juga tidak kalah," tambah Alimin. Syaratnya, Indonesia juga harus optimal dalam mengembangkan riset dan teknologi. Jika Indonesia tertinggal dalam hal teknologi, sulit untuk bisa melakukan konversi BBM ke energi lain seperti misalnya gas. "Converter saja kita masih harus beli dari Brazil dan Italia. Ini semua karena anggaran riset dan teknologi kita kecil sekali sehingga tidak bisa membuat alat sendiri," pungkas Alimin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.