KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komite Etik Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) akhirnya memberikan sanksi kepada dua entitas anggotanya yang melanggar. Kasus ini mencuat setelah masyarakat melaporkan ada pemain yang memberikan biaya pinjaman melebihi kesepakatan asosiasi sebesar 0,8% per hari termasuk bunga, administrasi dan provisi. Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menyatakan sanksi yang telah diberikan Komite Etik berupa teguran tertulis kepada kedua entitas. Namun berdasarkan tingkat pelanggaran yang dilakukan, hanya satu nama yang diberitahukan kepada publik yakni PT Glotech Prima Vista atau Do-It. Komite etik telah memberikan teguran tertulis kepada platform Do-It terkait pelanggaran pelampauan maksimal pengenaan biaya 0,8% setara bunga flat per hari pada tanggal 9 Mei 2019.
Keputusan ini diambil oleh Komite Etika AFPI yang terdiri dari Ketua Windri Marieta (Kantor Hukum Harvardy Marieta dan Maureen) beserta anggota yakni Andre Rahadian (Kantor Hukum HPRP dan Abadi Abi Tisnadisastra (Kantor Hukum Akset). Berdasarkan pemeriksaan Komite Etik ini, platform Do-It telah menghentikan pelanggaran tersebut dan saat ini mengenakan biaya tidak lebih dari 0.8% per hari. "Terdapat empat tingkat lapis sanksi, pertama peringatan tertulis bersifat tertutup. Kedua, pemberitahuan kepada masyarakat dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketiga, penonaktifan keanggotaan sementara. Terakhir, paling parah penghentian keanggotaan secara permanen," ujar Kuseryansyah di Jakarta pada Rabu (22/5). Lanjut Kuseryansyah, sanksi ini diambil berdasarkan verifikasi dari komisi etik yang terdiri dari ahli hukum yang berpengalaman. Kedua entitas ini terbukti memberikan biaya pinjaman hingga 1%. Kuseryansyah menyebut alasan dari dua entitas dalam penetapan biaya melebihi kesepakatan ini lantaran kesalahan persepsi dalam cara penghitungan biaya ini. "Do-It memberikan biaya hingga 1%. Satu lagi jauh lebih tinggi, tapi ketika tahu salah, mereka langsung mengembalikan lewat
cash back. Sedangkan Do-It waktu itu belum, tapi mereka sudah komitmen untuk mengembalikan. Mereka sudah menerima dan memperbaikinya. Mereka juga komitmen untuk aktif di AFPI dan mengikuti kode etik asosiasi," jelas Kuseryansyah. Asosiasi menilai hal ini tidak hanya pelajaran bagi ke dua entitas
fintech p2p
lending yang bermasalah. Juga bagi seluruh anggota AFPI. Kuseryansyah menegaskan bila ada pelanggaran yang sama dalam menerapkan biaya melebihi kesepakatan di kemudian hari, maka asosiasi akan memberikan sanksi lebih berat yakni penonaktifan. Bila keanggotaan di-nonaktifkan, maka secara otomatis, tanda daftar p2p lending di OJK juga dicabut. Sebelumnya Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyatakan telah menerima laporan dari asosiasi bahwa ada dua entitas
fintech legal yang terdaftar di OJK melakukan pelanggaran. Hendrikus menyatakan nasib dua
fintech ini akan ditentukan oleh komite etik AFPI. OJK tidak akan ikut intervensi dalam penentuan sanksi.
OJK sudah mengumumkan terdapat 113 platform
fintech lending yang terdaftar dan diawasi oleh regulator. Lima diantaranya kini telah mengantongi izin atau lisensi dari regulator. Hingga Maret 2019, P2P
lending telah menyalurkan pinjaman senilai Rp 33,2 triliun. Nilai ini tumbuh 46,48% bila dibandingkan posisi Desember 2018 senilai Rp 22,66 triliun. Adapun tingkat wanprestasi di atas 90 hari pada sebesar 2,62% pada kuartal pertama 2019. Nilai ini turun dibandingkan posisi Februari 2019 di level 3,18%. Kendati demikian, posisi wanprestasi ini masih lebih tinggi di banding akhir 2018 di posisi 1,45%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi