JAKARTA. PT Kimia Farma Tbk (KAEF) menyiapkan dua agenda ekspansi pada tahun depan. Pertama, KAEF bakal membangun pabrik garam farmasi tahap kedua. Kedua, emiten farmasi pelat merah ini akan membangun pabrik bahan baku yang memproduksi
active pharmaceutical ingredient (API). Pabrik garam farmasi berkapasitas 4.000 ton per tahun. Sementara pabrik API nanti untuk memproduksi enam bahan baku obat dan delapan high functional chemicals. Nilai investasi pabrik ini sekitar Rp 550 miliar. Armando Marulitua, analis Danareksa Sekuritas menilai, ekspansi itu tentu positif. Adanya pabrik tersebut, maka ketergantungan impor KAEF berkurang. Rata-rata setiap tahun perseroan mengeluarkan dana Rp 400 miliar untuk membeli bahan baku.
"Dari jumlah itu, 90% impor," tambah dia, kemarin. Kadang, impor memang lebih murah ketimbang membangun pabrik dan memproduksi sendiri. Tapi, pabrik di dalam negeri bermanfaat ketika terjadi kondisi tertentu seperti koreksi rupiah. Di sisi lain, rencana membangun pabrik adalah mandat pemerintah. Pabrik baru KAEF bisa menjadi katalis positif. Lantaran proyek ini membutuhkan waktu, efeknya terasa dalam jangka panjang. "Di jangka pendek, KAEF ditopang ekspansi ritel dan program BPJS. Apalagi BPJS menyebabkan permintaan obat generik KAEF menguat," jelas Armando. Dia memprediksi, pendapatan KAEF di tahun 2015, 2016 dan 2017 masing-masing Rp 5,16 triliun, Rp 6 triliun dan Rp 6,97 triliun. Laba bersih di periode sama diproyeksikan masing-masing Rp 258 miliar, Rp 302 miliar dan Rp 336 miliar. Sementara margin laba kotor dan margin laba bersih tahun ini 31% dan 5%. Michael Wilson Setjoadi, analis Bahana Securities, menilai, untuk bahan baku obat, impor memang lebih murah ketimbang membangun pabrik di dalam negeri. "Namun untuk garam farmasi, harga produk lokal bisa 30% lebih murah dibandingkan impor," ujar Michael. Kebutuhan garam farmasi secara nasional sekitar 6.000 ton per tahun. Jika pabrik itu beroperasi, maka KAEF bisa memenuhi permintaan itu. Michael bilang, butuh waktu 18 bulan-24 bulan hingga pabrik tersebut beroperasi. Berkah dan risiko BPJS Itu tentu menjadi hal positif bagi KAEF. Namun KAEF juga menghadapi satu risiko, bahkan bisa menjadi bumerang. Belakangan ini, kinerja KAEF terbilang menanjak, apalagi setelah BPJS diberlakukan. Dengan BPJS, maka penjualan obat KAEF terdongkrak. Di saat yang sama, dari 200 gerai milik perseroan, 100 di antaranya telah berubah konsep, menjadi seperti Puskesmas. Tentu klinik itu juga melayani pasien BPJS, sehingga penjualan obat generik KAEF terangkat. Rencananya, seluruh gerai KAEF disulap menggunakan konsep serupa.
Masalahnya, program BPJS terus mengalami defisit. Iuran atau premi yang selama ini antara Rp 25.000-Rp 60.000 ternyata tak menutup defisit itu. tahun lalu, defisit BPJS sebesar Rp 1,5 triliun. "Preminya mungkin bisa dinaikkan 5%. Tapi kenaikan 5% baru menutup Rp 1,5 triliun. Padahal, jika kondisi ini terus terjadi, defisit BPJS bisa membengkak," jelas Michael. Armando merekomendasikan buy KAEF dengan target Rp 1.200 per saham. Adapun Michael menurunkan rekomendasi buy menjadi hold dengan target Rp 1.060 per saham. Sedangkan Ankga Adiwirasta, analis BNI Securities, merekomendasikan buy dengan target Rp 1.370 per saham. Harga KAEF kemarin di posisi Rp 965 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie