KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren hunian vertikal, rumah susun atau apartemen begitu cepat perkembangannya. Rumah susun dipandang menjadi solusi kebutuhan tempat tinggal di tengah keterbatasan lahan khususnya di perkotaan. Tengok saja, kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 15.366,87 per km2. Peruntukan lahan untuk perumahan menduduki proporsi terbesar yaitu 48,41% dari luas daratan utama DKI Jakarta. Mengutip data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada 2015 persentase rumah tangga DKI Jakarta yang memiliki tempat tinggal sendiri sebesar 51,09%. Dengan jumlah
backlog kepemilikan rumah 2015 mencapai 1.276.424 rumah tangga.
Tidak heran jika proyek rumah susun begitu massif pembangunannya. Namun, muncul permasalahan lain terutama persoalan kehidupan bermasyarakat dalam hunian vertikal. Yang ujungnya pada konflik pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Sebanyak 185 dari 195 apartemen dan rumah susun di Jakarta diduga melanggar ketentuan dalam proses penjualan, hak kepemilikan, pengurusan perhimpunan penghuni, hingga pengalihan pengelolaan gedung. Ketidakpastian hukum dan lemahnya pengawasan membuat para pengembang besar dan kecil serempak melakukan praktik yang merugikan konsumen. “Sekitar 80% pengaduan yang masuk ke kami seputar masalah properti. Paling banyak mengadu soal tarif listrik dan air. Serta soal klausal baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB),” ujar Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Bambang Sumantri kepada Kontan.co.id saat ditemui usai diskusi “Wajah Baru Regulasi PPPSRS (Kembalinya Kedaulatan Pemilik Sarusun), Kamis (28/2). Pakar hukum perumahan Universitas Tarumanagara Vera Wheni turut mengamani. Dirinya mengungkapkan fakta ekspresi sikap pengembang terhadap konsumen. “Kita (pelaku usaha) punya PPJB yang standard. Mana bisa (pelaku usaha) 1 mempertimbangkan maunya 1 konsumen untuk PPJB. (Kami) jual 5.000 unit apartemen berarti ada 5000 PPJB untuk konsumen yang keinginannya masing-masing. PPJB dari (pelaku usaha) standard,” kata Vera mengutip pernyataan dari pengembang. “Kalau mau equal kontrak itu satu banding satu. Sedangkan kita (pelaku usaha) itu buat kontrak satu banding 1000 konsumen. Kita (pelaku usaha) harus memprotek kita dulu. Maka semua (pelaku usaha) di Jakarta membuat PPJB standar seperti itu”. Ada pun bentuk pelanggaran lain yang acap kali terjadi: 1. Serah terima unit apartemen/rusun tidak disertai kelengkapan dokumen seperti: tata tertib hunian, salinan IMB, Sertifikat Laik Fungsi (SLF), pertelaan, sertifikat hak milik satuan rumah susun (sarusun) atau sertifikat kepemilikan bangunan gedung; dan akta jual beli; 2. Status tanah tidak disampaikan pada para pemilik/penghuni, belum ada kejelasan status tanah bersama; 3. Penetapan iuran pengelolaan lingkungan (IPL), pengelolaan dana, dan pemberian sanksi kepada pemilik oleh pengembang, tidak transparan dalam pengelolaan rusun 4. Campur tangan pelaku pembangunan dalam pembentukan PPPSRS, penunjukan pengurus dan pengawas PPPSRS, dan penunjukan pengelola; 5. Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sarusun tidak dilakukan di hadapan notaris dan PPJB telah lunas dibayar namun pengembang belum mau membuat Akta Jual Beli di hadapan PPAT; 6. Tidak transparan dalam penetapan besaran dana endapan (
sinking fund) dan penggunaannya; dan 7. Administrasi keuangan tidak transparan dan tidak pernah diaudit oleh auditor independen. Regulasi PPPSRS Sebenarnya, payung hukum tentang rumah susun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Dalam beleid tersebut mengamanatkan: Pasal 75 (1) Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir - paling lama satu tahun sejak penyerahan pertama kepada pemilik (2) Dalam hal PPPSRS telah terbentuk, pelaku pembangunan segera menyerahkan pengelolaan benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama kepada PPPSRS. Pasal 97 Setiap pelaku pembangunan rumah susun komersial dilarang mengingkari kewajibannya untuk menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun Pasal 98 Pelaku pembangunan dilarang membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB): a. yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan; atau b. sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) -- status kepemilikan tanah; kepemilikan IMB; ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; keterbangunan paling sedikit 20%; dan hal yang diperjanjikan. Pasal 109 Pelanggaran Pasal 97 dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 20 miliar Pasal 110 Pelanggaran Pasal 98 dapat dipidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp 4 miliar. Sayangnya, sampai saat ini aturan hukum turunan dari UU Rumah Susun berupa Peraturan Pemerintah (PP) tak kunjung terbit. Pedoman memayungi antara hak dan kewajiban hunian vertikal. Namun, untuk mengisi kekosongan dari PP muncul Peraturan Menteri PUPR Nomor 23/PRT/M/2018 tentang PPPSRS dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik. “Terbitnya aturan ini sebagai terobosan setelah pembahasan PP selama delapan tahun tidak kunjung selesai. Saya menduga ada pihak yang menciptakan kondisi agar PP ini tidak kunjung terbit,” ujar Togar Arifin Silaban, anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta. Kedua payung hukum ini dipandang telah memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan di lingkungan hunian vertikal. Berdasarkan kajian yang dilakukan Kolegium Jurist Institute terdapat beberapa substansi penting dalam beleid tersebut, yakni: 1.Mempertegas kapan perhitungan masa transisi, yakni masa waktu paling lambat PPPSRS harus sudah terbentuk. Kedua regulasi tersebut mempertegas, masa transisi adalah paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali Sarusun kepada Pemilik, tanpa dikaitkan dengan belum terjualnya seluruh Sarusun. 2. Makna Fasilitasi Pelaku Pembangunan dalam pembentukan PPPSRS dalam kedua regulasi ini telah dirumuskan secara limitasi. Fasilitasi pelaku pembangunan hanya terbatas sarana untuk memberikan segala kebutuhan pembentukan PPPSRS. Berdasarkan putusan MK 21/PPU-XIII/2015, fasilitasi tidak boleh diartikan pelaku pembangunan turut dalam membentuk PPPSRS. 3. Proses edukasi kepada calon pembeli tentang pembentukan PPPSRS dirumuskan secara tegas dalam kedua regulasi 4. Adanya asas transparansi dan partisipatif dalam pembentukan Panitia PPPSRS 5. Peran pemerintah dalam pengawasan dalam kedua regulasi ini di tingkatkan. Hal ini tampak dari kewajiban pamus untuk melakukan konsultasi kepada instansi teknis pemerintah daerah 6. Diletakkan kedaulatan pemilik secara tepat dalam pembentukan PPPSRS. Pemilik lah yang memiliki hak suara untuk membentuk PPPSRS 7. Mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan mekanisme pengambilan keputusan pemilihan pengurus dan pengawas PPPSRS dilakukan dengan suara terbanyak dan Pemilik hanya memiliki 1 (satu) suara walaupun memiliki lebih dari 1 (satu) Sarusun 8. Pengurus dan pengawas merupakan Pemilik yang bertempat tinggal di Rumah 9. Terdapatnya pengaturan batas waktu penyerahan pengelolaan dari pelaku pembangunan kepada PPPSRS yakni paling lama 3 (tiga) bulan sejak terbentuknya PPPSRS, 10. Terdapatnya pedoman bagaimana menyusun akta pendirian, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga dalam pembentukan PPPSRS. Polemik hak suara Meski demikian, hadirnya kedua regulasi tersebut belum mampu memuaskan semua pihak, terutama menyangkut hak suara. Setiap pemilik rusun hanya diberikan satu hak suara, meski unit yang dimiliki lebih dari satu. Aldi contohnya, mengaku memiliki sejumlah unit apartemen sebagai aset investasi merasa dirugikan terhadap aturan tersebut. “Satu orang satu suara. Tapi saya punya kepentingan lebih banyak dibandingkan dengan pemilik satu unit apartemen,” ujarnya. Aldi bercerita tiga unit apartemennya di Kemayoran saat ini susah laku untuk disewakan. Lantaran fasilitas apartemennya mulai rusak. “Apartemen di Kemayoran sudah sepenuhnya pengelolaan dipegang PPPSRS. Dan kondisinya lingkungan apartemen menyedihkan. Saya sudah lapor ke PPPSRS, tetapi jawabannya keterbatasan dana. Padahal kita sudah bayar IPL,” jelasnya. Di contoh kasus lainnya, muncul konflik antara penghuni dengan pemilik kios di apartemen tersebut. Lantaran kepentingan dan kebutuhan hunian apartemen yang berbeda. “Penghuni ingin suasana yang lebih tenang, sedangkan pemilik kios sebaliknya yang ramai pengunjung. Alhasil ada dua PPPSRS versi penghuni dan versi pemilik kios,” kata Aldi. Pakar hukum properti Erwin Kallo menyebut pemangkasan hak suara ini dirancang untuk mencegah para pengembang menguasai rusun yang dibangunnya. Pandangan ini dinilai tidak mendasar. Hal ini karena pengembang tentu membangun rusun untuk dijual agar bisa mendapatkan untung dan bukan untuk dimiliki sendiri. Selain itu, Erwin menuturkan, siapa pun yang memiliki unit lebih dari satu, entah itu pengembang atau perorangan harusnya memiliki hak yang sama. "Dia bayar sepuluh unit, tapi suaranya di perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rusun (P3SRS) satu, itu kan tidak adil, hak dan kewajiban itu harusnya seimbang, jangan sampai membatasi hak orang," ujar Erwin dikutip dari
Kompas.com. Lantaran itu, kini Pergub Nomor 123 tengah digugat ke Mahkamah Agung (MA). Asosiasi Real Estate Indonesia dan notaris bernama Sutrisno Tampubolon sebagai pihak penggugatnya. Selain itu, mereka menggugat Permen PUPR Nomor 23. Para penggugat mengajukan
judicial review karena menganggap Pergub itu dikeluarkan Anies Baswedan tanpa ada payung hukum yang menaungi atau mendahului aturan yang secara hierarki berada di atasnya berupa Peraturan Pemerintah (PP). Tigor pun mengatakan tidak ada yang dirugikan dari notaris dan para pengembang selaku penggugat. Peraturan MA menyatakan, yang bisa mengajukan
judicial review hanya untuk mereka yang dirugikan. "Saya perkirakan notaris itu tidak memiliki 'legal standing'. Pengembang sudah habis akal untuk menjegal Pergub ini. Mereka sendiri tidak mungkin menggugat," tegasnya.
Tigor menegaskan kembali ketentuan satu hak suara, meski unit yang dimiliki lebih dari satu sudah memenuhi rasa keadilan. Sangat tidak adil jika ada yang menguasai hak suara. "PPPSRS tidak sama perseroan halnya saham. Ini sifatnya organisasi," paparnya. Dari sengkarut permasalahan hunian vertikal ini, perlindungan terhadap konsumen sudah sepatutnya. Hadirnya kedua regulasi ini diharapkan bisa memberikan jaminan perlindungan bagi para pemilik, penghuni, dan PPPSRS. Setidaknya memberi jaminan rasa aman bagi konsumen. Tapi tak kalah penting, jadilah konsumen yang cerdas dan berdaya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto