KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada awal tahun 2025 terus menuai penolakan. Hal ini dikhawatirkan dapat menekan dunia usaha di tengah melemahnya daya beli masyarakat. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, melihat, kenaikan PPN menjadi 12% berisiko membebani dunia usaha khususnya sektor manufaktur dan retail.
Wijayanto mengatakan, kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi memperlemah daya beli. Selain itu, ia juga mengatakan keputusan tersebut akan membebani dunia usaha terutama sektor manufaktur dan retail.
Baca Juga: Rakyat Butuh Kepastian, Pemerintah Perlu Segera Komunikasikan PPN 12% "Menaikkan tarif pajak saja tidak memadai untuk mewujudkan fiskal yang berkelanjutan, perlu adanya pendekatan yang lebih komprehensif," jelas Wijayanto dalam laporan yang bertajuk
PPN 12% Solusi atau Beban, dikutip Senin (2/12). Meski begitu, Wijayanto melihat kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi mendongkrak penerimaan negara sekitar Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun. Selain itu, dampak dari kenaikan PPN terhadap penerimaan APBN akan terjadi seketika. Sedangkan PPH dan PBB terdapat efek delay selama satu tahun. "Kemudahan dieksekusi dan GCG pemerintah meminjam tangan para pengusaha," ujarnya. Wijayanto menambahkan, fiskal 2024 sangat menantang dan berpotensi berlanjut di tahun 2025 hingga 2026.
Baca Juga: PPN Naik Jadi 12% Berpeluang Picu Perceraian Hingga Mental Health Gen Z Pada saat yang bersamaan daya beli masyarakat menurun, pertumbuhan ekonomi melambat dan dunia usaha mengalami kesulitan. "Kebijakan terkait PPN tidak boleh terlepas dari kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi lainnya," ungkapnya. Di sisi lain, UMP pada tahun 2025 meningkat 6,5% sehingga menurut Wijayanto jika PPN diputuskan meningkat jadi 12% maka pemerintah harus berkomitmen terhadap beberapa hal. Di antaranya, memprioritaskan kenaikan penerimaan PPN untuk program sosial kerakyatan seperti bansos atau BLT, makan bergizi gratis hingga subsidi BPJS Kesehatan.
Baca Juga: Generasi Z Terusik Kenaikan Tarif PPN 12% Kemudian, memangkas belanja pemerintah termasuk untuk infrastruktur, alutsista dan perjalanan dinas. Pemerintah juga perlu menerapkan pajak
underground economy dan memberantas penyelundupan. Berikutnya pemerintah harus memberantas korupsi perpajakan dan memberi sanksi keras kepada pengemplang pajak serta mengakhiri insentif pajak berlebih yang dinikmati oleh sektor dan kelompok tertentu.
"Tanpa enam komitmen tersebut sebaiknya kenaikan PPN ditunda, karena ini melanggar aspek
fairness dan berpotensi mengganggu laju perekonomian secara keseluruhan," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli