Dua Sektor Ini Dinilai Masih Perlu Mendapat Insentif Pajak Tahun Depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belanja perpajakan atau tax expenditure merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang sering digulirkan ketika perekonomian sedang sulit atau sedang tidak baik-baik saja. 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, tujuan dari belanja perpajakan ialah untuk menjaga kondisi ekonomi resilience atau kemampuan untuk bertahan secara ekonomi ketika ekonomi sulit.

"Contoh empiriknya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP). Ada PPh (Pajak Penghasilan) DTP, PPN (Pajak Pertambahan Nilai DTP, dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) DTP," kata Prianto kepada Kontan, Kamis (6/6).


Prianto berpendapat, sektor prioritas insentif pajak DTP di tahun depan masih untuk sektor properti dan kendaraan listrik. Pasalnya, kondisi ekonomi di tahun depan tidak terlepas dari kondisi serupa di 2024.

Baca Juga: Belanja Perpajakan Tahun 2025 Diproyeksi Rp 421,82 Triliun, Ini Kata Pengamat

"Jadi kedua sektor ini sepertinya juga masih perlu mendapatkan insentif pajak," ucapnya.

Ia juga menyampaikan bahwa kedua sektor tersebut memiliki karakteristik berbeda. Sektor properti misalnya, berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap properti yang cenderung tidak meningkat karena masyarakat masih wait and see setelah Pemilihan Presiden.

"Agar kondisi sektor properti tidak memburuk karena minat beli masyarakat tertahan, maka insentif PPN DTP diperlukan," ujarnya.

Kemudian, sektor industri kendaraan listrik masih perlu mendapatkan insentif jika pemerintah tetap ingin mempercepat peralihan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik. 

"Untuk itu, daya tarik bebas pajak berupa pajak DTP tetap masih perlu dipertahankan," tuturnya.

Lebih lanjut, ia juga menerangkan bahwa mekanisme tax expenditure berupa pajak DTP itu berasal dari anggaran belanja di APBN. 

"Dengan kata lain, untuk contoh pajak DTP tersebut pada dasarnya masyarakat tetap membayar pajak senilai pajak DTP. Perbedaannya terletak di sumber dana untuk bayar pajak," jelasnya.

Jika tidak ada fasilitas pajak DTP, sumber dana untuk bayar pajak berasal dari kantong masyarakat selaku Wajib Pajak sendiri. Bila ada fasilitas pajak DTP, sumber dana untuk bayar pajak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia di sisi pengeluaran. 

Baca Juga: Ini Strategi Pemerintah Kejar Penerimaan di 2025, Terapkan Pajak Global dan Core Tax

"Jadi, target penerimaan pajaknya tidak akan terpengaruh oleh tax expenditure policy," tutupnya.

Sebagai tambahan informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan nilai belanja perpajakan pada tahun 2025 mencapai Rp 421,82 triliun. Nilai belanja perpajakan tersebut meningkat dibandingkan tahun ini yang mencapai Rp 374,53 triliun.

Adapun porsi terbesar ditujukan untuk belanja perpajakan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah (PPN & PPnBM) sebesar Rp 262,3 triliun, atau meningkat dari tahun ini sebesar Rp 228,1 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi