Dua sisi rokok



Di negeri agraris yang sekian lama berjuang untuk menuju taraf industri ini, rokok begitu dibenci tapi sekaligus juga dicinta. Kian banyak orang mengampanyekan antirokok dan gaya hidup sehat. Namun para “ahli hisap” pun tak kalah militan – dan tetap saja buanyak jumlahnya.

Dari sisi mudarat, jelas, rokok dianggap biang penyebab sakit jantung, stroke, gagal ginjal, kanker; semuanya berisiko tinggi dan butuh perawatan mahal. Bahkan dampak lebih parah bisa menimpa para perokok pasif yang ikut menghirup asap yang disemburkan kaum perokok. BPJS pun mengeluhkan klaim biaya pengobatan penyakit-penyakit tersebut menelan sekitar 20% dari total biaya layanan Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat.

Tapi di sisi lain, rokok juga punya andil besar bagi perekonomian Indonesia. Penerimaan cukai rokok naik terus, dan tahun ini targetnya disedot Rp 148 triliun. Empat kali lipat penerimaan negara dari BUMN yang berjumlah ratusan itu. Wajar bila muncul opsi memanfaatkan dana rokok ini untuk mengganjal kete-koran BPJS Kesehatan.


Di antara berbagai sektor industri pun, kontribusi perpajakan industri rokoklah yang terbesar – jauh melebihi industri lainnya seperti properti dan konstruksi, telekomunikasi, ataupun kesehatan dan farmasi. Belum lagi industri hasil tembakau ini menyerap jutaan tenaga kerja; mulai dari perkebunan, manufaktur, hingga distribusi.

Tak heran bila sikap pemerintah pun terkesan ambigu. Maunya terlihat melindungi rakyat dari gangguan kesehatan, tapi belum bisa memberikan solusi bagi kelangsungan hidup petani tembakau. Dan lagi, masih mau menerima “upeti” besar dari industri rokok demi menyelamatkan anggaran negara.

Ada memang kebijakan-kebijakan pemerintah yang cukup keras terhadap industri rokok, seperti pembatasan produksi, iklan, dan promosi. Lalu, cukai pun dicekik tinggi. Padahal pada akhirnya yang tercekik beneran adalah kaum melarat – buruh tani, buruh pabrik, nelayan – yang mendominasi profil konsumen rokok. Di keluarga miskin, konsumsi udut ada di peringkat tertinggi setelah belanja makanan-minuman dan beras. Makin tinggi harga rokok, makin sengsara mereka.

Sementara pabrikan rokok terus kepul-kepul dengan margin tinggi. Kapitalisasi pasarnya bermega-mega. Apakah mereka membela kepentingan petani dalam negeri? Memang ada program kemitraan, juga kepedulian sosial. Tapi belum tentu mereka sedia membeli dengan harga bagus; lagi pula tidak semua bahan baku mereka serap dari petani lokal.

Selama ini pabrik rokok mengaku butuh 340.000 ton tembakau. Tapi produksi nasional hanya 60%–70%, sisanya harus mereka impor. Untuk jenis virginia yang banyak dipakai pabrikan besar, dari kebutuhan 80.000 ton, produksi dalam negeri cuma 27.000 ton. Dus, tembakau petani hanya jadi tambahan. Maka harganya pun rentan ditekan dengan dalih standar kualitas dan kesesuaian varietas.

Kini, lewat Permendag Nomor 84 Tahun 2017, pemerintah menerapkan tata niaga impor tembakau. Kementerian Pertanian yang mengatur persentase tembakau yang wajib diserap industri rokok sebagai syarat pengajuan impor. Selebihnya, pabrikan harus memborong tembakau petani. Kalau tidak, ada sanksi tegas: mulai dari pembekuan sampai pencabutan izin impor.

Beleid ini memang mencuatkan polemik di jagat pertembakauan. Tapi bukannya tak ada titik temu. Para pemangku kepentingan jelas berharap agar produksi rokok tidak turun dan serapan tembakau lokal tidak ikut turun gara-gara beleid ini. Untuk itulah, pertama, perlu dibangun pola kemitraan yang kuat antara industri dan petani supaya produksi tembakau bisa segera meningkat sesuai kebutuhan. Kedua, ada jaminan pembelian dengan harga sesuai standar kualitas yang jelas. Ketiga, mungkin perlu juga ada insentif fiskal bagi industri yang memenuhi tata niaga ini.

Semoga pemerintah mau mendengarkan, supaya tidak malah muncul masalah baru.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi