KONTAN.CO.ID - DW. Di distrik Marina Dubai yang mewah, kapal pesiar putih ditambatkan ke dermaga, tertonggok tak bergerak, seperti nasib banyak perusahaan di balik industri gaya hidup mewah yang dihantam oleh krisis corona. Jalan setapak yang meliuk-liuk di sekitar teluk dan kanal buatan yang dulu penuh sesak dengan turis dari Tiongkok, Rusia, dan Inggris, kini sepi. "Hampir 95 persen omset telah hilang," kata manajer perusahaan penyewaan kapal pesiar kepada AFP. Ketika Uni Emirat Arab menghentikan semua penerbangan komersial dan memberlakukan jam malam yang ketat untuk membendung penyebaran virus COVID-19, bisnis perjalanan wisata mengering "tanpa peringatan", kata pria Prancis itu.
Meski sumber minyaknya tidak sebanyak yang lain, Dubai memiliki sektor ekonomi yang paling beragam di kawasan Teluk, dan berhasil membangun reputasi sebagai pusat keuangan, perdagangan, dan pariwisata yang menarik sekitar 16 juta pengunjung per tahunnya. Sektor jasa di kosmopolitan ini didorong oleh ratusan ribu orang pekerja asing, mulai dari pekerja migran yang super kaya hingga berpenghasilan rendah yang hidup di belakang layar kehidupan kelas atas. Ketidakpastian membayang Bersama-sama, mereka telah membantu menciptakan dan mengoperasikan kota yang penuh dengan distrik perkantoran berkilauan serta pusat perbelanjaan megah, resor super mewah dan tempat wisata unik seperti lereng ski dalam gedung dan bar di lantai 124 menara tertinggi di dunia, Burj Khalifa. Sejauh ini, Uni Emirat Arab mencatat lebih dari 15.000 infeksi virus corona dengan 146 kasus kematian. Beberapa tindakan pembatasan telah dicabut dan banyak bisnis yang sudah dibuka lagi. Namun, untuk pengusaha dan karyawan, ketidakpastian masih membayangi. Seorang manajer kapal pesiar mengatakan, perusahaannya sekarang diizinkan untuk memulai kembali layanan terbatas tetapi "permintaan sangat sedikit". Banyak penduduk terlalu takut untuk keluar dari rumah mereka, katanya. Selain itu, ini adalah bulan Ramadan ketika kehidupan sehari-hari cenderung melambat. "Pada tingkatan ini, kita hanya bisa bertahan sampai akhir tahun atau awal Januari," katanya kepada AFP. Manajer Prancis itu, yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan perusahaannya telah merugi hingga 80.000 dollar AS sejak krisis corona melanda. Karyawan telah menerima 50 persen dari gaji mereka pada bulan Maret lalu, dan diminta untuk mengambil cuti yang tidak dibayar pada bulan April. Lembaga riset Capital Economics mengatakan, dengan utang yang tinggi, sektor real estate yang sedang berjuang, meningkatnya persaingan dari negara tetangga dan ekonomi yang terjerembab, Dubai sangat didera dampak pandemi corona. "Pemerintahan di seluruh dunia, termasuk Dubai, telah memberlakukan langkah-langkah pembatasan sosial yang ketat dan pembatasan perjalanan untuk meredam penyebaran virus corona," katanya. "Dubai adalah yang paling rentan di Timur Tengah dan Afrika Utara dalam hal kerusakan ekonomi dari wabah tersebut." 80 persen perekonomian terpukul Ekonom riset perusahaan James Swanston mengatakan, seluruh sektor jasa, yang membentuk sekitar 80 persen perekonomian Dubai, akan terpukul. Sektor pariwisata, perdagangan grosir dan eceran juga akan terkena dampak terburuk. "Kami memperkirakan bahwa jika langkah-langkah jarak sosial dan pembatasan perjalanan diberlakukan selama tiga hingga empat bulan, maka akan menurunkan sekitar 5-6 persen Produk Domestik Brutto setidaknya untuk tahun ini," katanya kepada AFP. UAE telah mengumumkan paket stimulus senilai 70 miliar dollar AS dan langkah-langkah lain untuk mendukung perekonomian, termasuk keringanan pajak dan pembebasan berbagai bea, sambil memungkinkan bisnis memecat karyawan asing, mengurangi upah, atau memaksakan cuti yang tidak dibayar. Di antara mereka yang berisiko adalah Lila, seorang karyawan asal Nepal di salah satu dari banyak perusahaan jasa kebersihan, yang mengantarkan para perempuan petugas kebersihan ke rumah-rumah dan kantor-kantor bisnis di Dubai.
Gadis berusia 23 tahun itu tiba di Dubai tepat sebelum pandemi melanda, direkrut oleh sebuah perusahaan yang menyediakan jasa pembersih ke rumah-rumah dengan mengklik sebuah aplikasi. Beberapa rekan Lila sudah dipecat dan sedang menunggu untuk kembali ke negara asal mereka, sebagian besarĀ berasal dari Asia. "Mereka tidak akan memberhentikan saya karena saya pegawai baru," katanya kepada AFP, seraya menjelaskan bahwa dia perlu membayar kembali utangnya kepada agensi, yang pasti akan memakan waktu, karena upahnya hanya 1.500 dirham ( sekitar 380 euro) sebulan. Vani Saraswathi, associate editor di Migrant-Rights.org, mempertanyakan langkah-langkah apa yang akan dilakukan untuk mencegah tekanan lebih lanjut pada nasib pekerja.
Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti