JAKARTA. Penyimpangan uang negara tetap ada kendati laporan keuangan kementerian/lembaga semakin baik. Hasil audit semester satu 2012 menunjukkan, ada penyimpangan pengelolaan uang negara senilai Rp 12,48 triliun.Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo menyatakan, penyimpangan itu karena dua faktor. Pertama, aparat negara di lingkungan pemerintah pusat, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah tidak patuh dalam mengelola keuangan negara sehingga mengakibatkan penurunan dan atau kerugian penerimaan negara sampai dengan Rp 8,92 triliun. Kasus ini terjadi di 3.976 kasus.Kedua, penyimpangan administrasi, pemborosan belanja uang negara yang diakibatkan oleh lemahnya sistem pengendalian internal di pemerintah pusat, kementerian, lembaga dan juga pemerintah daerah. Ada 9.129 kasus penyimpangan administrasi yang berpotensi menghilangkan uang negara sampai dengan Rp 3,55 triliun."Kasus yang kami temukan ini utamanya disebabkan oleh belum akuratnya sistem pencatatan laporan keuangan, sistem akuntansi yang buruk, kurang cermatnya perencanaan, buruknya koordinasi dan kebijakan serta lemahnya pengawasan dan pengendalian internal," kata Hadi di Gedung DPR Selasa (2/10). Menurut Hadi, fakta tersebut bisa diketahui dari banyaknya kasus kelebihan bayar dan juga berkurangnya volume barang dan proyek sepanjang semester pertama 2012 kemarin. Dari 9.129 kasus penyimpangan administrasi dan pemborosan keuangan negara, sekitar 104 kasus senilai Rp 114,88 miliar diantaranya disebabkan oleh kelebihan pembayaran dan juga berkurangnya volume barang atau proyek pemerintah. “Ada juga pengurangan penerimaan negara yang terjadi karena denda keterlambatan pekerjaan yang diakibatkan oleh buruknya perencanaan dilakukan di level pemerintah pusat, kementerian lembaga dan,” kata Hadi. Hadi menyebutkan ada 75 kasus keterlambatan yang mengakibatkan denda kepada negara sampai dengan Rp 48,20 miliar. Namun sayangnya, dia tidak merinci secara lebih jauh mengenai kementerian, lembaga mana saja yang mengalami keterlambatan tersebut. Masalah yang sama juga terjadi di daerah. Setidaknya, ada 455 kasus di daerah yang mengakibatkan penurunan penerimaan daerah sampai dengan Rp 230,55 miliar yang disebabkan oleh berkurangnya volume barang, pekerjaan dan juga piutang daerah yang tidak tertagih. “Jumlah itu berasal dari kasus berkurangnya volume pekerjaan atau barang sebanyak Rp 72,82 miliar dan piutang tak tertagih sebanyak 80 kasus senilai Rp 119,56 miliar,” kata Hadi. Koordinator Divisi Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi mengatakan temuan penyimpangan keuangan negara yang mencapai Rp 12,48 triliun tersebut sebenarnya bisa lebih besar jika BPK benar- benar melakukan verifikasi terhadap laporan keuangan sampai ke level yang terkecil. “Makanya temuannya cukup kecil, dan temuannya juga sama dengan tahun- tahun sebelumnya, kurang tertib adminisitrasi lah, sistem akuntansi buruk lah, perencanaan buruk lah, ini membuktikan BPK hanya cari aman saja,” kata Uchok. Uchok karena itu berharap, ke depan cara dan standar penilaian BPK tersebut bisa diubah. “Jadi bukan lagi melihat kesalahan administrasi tapi detail rincian penyelewengan setiap instansi yang mereka nilai,” kata Uchok. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Duh, ada penyimpangan uang negara Rp 12,48 triliun
JAKARTA. Penyimpangan uang negara tetap ada kendati laporan keuangan kementerian/lembaga semakin baik. Hasil audit semester satu 2012 menunjukkan, ada penyimpangan pengelolaan uang negara senilai Rp 12,48 triliun.Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo menyatakan, penyimpangan itu karena dua faktor. Pertama, aparat negara di lingkungan pemerintah pusat, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah tidak patuh dalam mengelola keuangan negara sehingga mengakibatkan penurunan dan atau kerugian penerimaan negara sampai dengan Rp 8,92 triliun. Kasus ini terjadi di 3.976 kasus.Kedua, penyimpangan administrasi, pemborosan belanja uang negara yang diakibatkan oleh lemahnya sistem pengendalian internal di pemerintah pusat, kementerian, lembaga dan juga pemerintah daerah. Ada 9.129 kasus penyimpangan administrasi yang berpotensi menghilangkan uang negara sampai dengan Rp 3,55 triliun."Kasus yang kami temukan ini utamanya disebabkan oleh belum akuratnya sistem pencatatan laporan keuangan, sistem akuntansi yang buruk, kurang cermatnya perencanaan, buruknya koordinasi dan kebijakan serta lemahnya pengawasan dan pengendalian internal," kata Hadi di Gedung DPR Selasa (2/10). Menurut Hadi, fakta tersebut bisa diketahui dari banyaknya kasus kelebihan bayar dan juga berkurangnya volume barang dan proyek sepanjang semester pertama 2012 kemarin. Dari 9.129 kasus penyimpangan administrasi dan pemborosan keuangan negara, sekitar 104 kasus senilai Rp 114,88 miliar diantaranya disebabkan oleh kelebihan pembayaran dan juga berkurangnya volume barang atau proyek pemerintah. “Ada juga pengurangan penerimaan negara yang terjadi karena denda keterlambatan pekerjaan yang diakibatkan oleh buruknya perencanaan dilakukan di level pemerintah pusat, kementerian lembaga dan,” kata Hadi. Hadi menyebutkan ada 75 kasus keterlambatan yang mengakibatkan denda kepada negara sampai dengan Rp 48,20 miliar. Namun sayangnya, dia tidak merinci secara lebih jauh mengenai kementerian, lembaga mana saja yang mengalami keterlambatan tersebut. Masalah yang sama juga terjadi di daerah. Setidaknya, ada 455 kasus di daerah yang mengakibatkan penurunan penerimaan daerah sampai dengan Rp 230,55 miliar yang disebabkan oleh berkurangnya volume barang, pekerjaan dan juga piutang daerah yang tidak tertagih. “Jumlah itu berasal dari kasus berkurangnya volume pekerjaan atau barang sebanyak Rp 72,82 miliar dan piutang tak tertagih sebanyak 80 kasus senilai Rp 119,56 miliar,” kata Hadi. Koordinator Divisi Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi mengatakan temuan penyimpangan keuangan negara yang mencapai Rp 12,48 triliun tersebut sebenarnya bisa lebih besar jika BPK benar- benar melakukan verifikasi terhadap laporan keuangan sampai ke level yang terkecil. “Makanya temuannya cukup kecil, dan temuannya juga sama dengan tahun- tahun sebelumnya, kurang tertib adminisitrasi lah, sistem akuntansi buruk lah, perencanaan buruk lah, ini membuktikan BPK hanya cari aman saja,” kata Uchok. Uchok karena itu berharap, ke depan cara dan standar penilaian BPK tersebut bisa diubah. “Jadi bukan lagi melihat kesalahan administrasi tapi detail rincian penyelewengan setiap instansi yang mereka nilai,” kata Uchok. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News