JAKARTA. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terancam tak bisa mengajukan rancangan APBD 2015 yang ditargetkan mencapai Rp 76,9 triliun. Tak kunjung terbentuknya alat kelengkapan di DPRD DKI berupa pembagian kursi untuk pimpinan komisi, menjadi penyebabnya. Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Bestari Barus mengatakan, jika pembahasan alat kelengkapan tak kunjung menemui titik temu, maka Pemprov DKI Jakarta mau tidak mau harus menggunakan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) dari APBD 2014 untuk menjalankan program-programnya. "Ada surat edaran dari Menteri Dalam Negeri, apabila DPRD tidak mampu membentuk komisi, maka dipakai anggaran lama, yang teken Ketua DPRD dan gubernur. Jadi, pakai anggaran 2014 lagi. Ini solusi tidak baik sebetulnya," ujar Bestari, di Gedung DPRD DKI, Senin (27/10).
Atas semua permasalahan tersebut, Bestari meminta Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi bisa lebih tegas menentukan nasib lima komisi yang ada di DPRD DKI. Menurut dia, Pras punya wewenang untuk menentukan sistem apa yang dipakai dalam pembagian kursi-kursi komisi di DPRD DKI. "Pimpinan harus tegas. Langsung tetapkan saja. Saya juga mau mengingatkan di sini, yang kalah (dalam pemilu) tahu diri," ujar Bestari. Seperti diberitakan sebelumnya, APBD 2014 DKI mencapai Rp 72,9 triliun. Namun penyerapannya sangat rendah. Berdasarkan data Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (ULP) DKI Jakarta, hingga September 2014, realisasi penyerapannya hanya mencapai Rp 9,093 miliar, atau hanya 0,01 persen dari nilai total APBD. Dari jumlah tersebut, penyerapan anggaran untuk pembangunan infrastruktur hanya sekitar 0,01 persen. Selebihnya merupakan penyerapan anggaran untuk gaji pegawai, alat tulis kantor, dan pembayaran tagihan telepon, air, listrik, dan internet. Ada apa di DPRD DKI? Tak kunjung terbentuknya alat kelengkapan di DPRD DKI diakibatkan pandangan masing-masing fraksi besar yang punya penafsiran sendiri tentang jatah kursi pimpinan komisi yang harusnya mereka terima. Diberitakan sebelumnya, Bestari menjelaskan tentang kengototan Fraksi Demokrat-PAN yang ingin meminta jatah dua kursi pimpinan komisi karena merasa memiliki 12 kursi di DPRD DKI. Padahal, kata Bestari, seharusnya fraksi Demokrat-PAN hanya mendapatkan satu kursi karena pembagian jatah pimpinan komisi berdasarkan kursi fraksi yang asli, bukan fraksi gabungan. Fraksi Demokrat-PAN merupakan gabungan dari Partai Demokrat yang memiliki 10 kursi dengan PAN yang mendapat dua kursi di DPRD DKI. Hanya dengan penggabungan ini, PAN bisa membentuk fraksi di DPRD DKI. "Demokrat meminta porsi lebih besar. Mereka minta dua kursi (pimpinan komisi). Sebetulnya di pembukaan tatib, ada pasal membahas, pembagian pimpinan komisi bukan berdasarkan fraksi gabungan," papar Bestari. Beberapa waktu lalu, Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi mengatakan bahwa pembagian pimpinan komisi di DPRD DKI akan dilakukan secara proporsional terbuka berdasarkan perolehan kursi.
Pras memaparkan, contoh dari cara penghitungan proporsional terbuka adalah, kursi yang dimiliki parpol akan dibagi jumlah seluruh anggota yang ada di DPRD DKI periode ini, yakni 106 orang. Hasil dari pembagian itu kemudian akan dikalikan 15, yang merupakan jumlah kursi pimpinan dari lima komisi yang ada di DPRD DKI. Setiap pimpinan komisi terdiri atas ketua, wakil ketua, dan sekretaris. "Jadi PDI Perjuangan punya 28 kursi, dibagi 106, dikali jumlah kursi pimpinan komisi sebanyak 15 orang. Hasilnya sama dengan 3,9 dibulatkan menjadi empat posisi pimpinan di komisi nanti. Nah selanjutnya dan seterusnya dari fraksi yang lain akan seperti itu," kata Pras, Rabu (8/10). (Alsadad Rudi) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie