Duh, aset bank asal Indonesia belum masuk jajaran 10 besar ASEAN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan data terakhir yang dihimpun oleh Tim Ekonom Bank Permata, sampai akhir 2017 dari sisi total aset, belum ada bank dari Indonesia yang mampu masuk dalam 10 besar bank terbesar di ASEAN.

Pasalnya, dari 18 bank ASEAN yang disurvei, hanya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) saja yang hampir masuk di urutan 10 besar dengan posisi aset mencapai US$ 82,89 miliar. Sedikit berada di bawah Krung Thai Bank PLC yang memiliki total aset US$ 87,63 miliar per akhir tahun 2017.

Sementara itu, bank yang berhasil masuk jajaran bank dengan jumlah aset terbesar dari Indonesia antara lain PT Bank Mandiri (Persero) Tbk di urutan 12. Total aset Bank Mandiri pun hampir menyaingi BRI yakni sebesar US$ 82,77 miliar.


Adapun, posisi ke 13 dan 14 juga diisi oleh bank umum kelompok usaha (BUKU) IV Indonesia yaitu PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk alias BNI. Total aset BCA dan BNI per akhir 2017 masing-masing sebesar US$ 55,22 miliar dan US$ 52,2 miliar.

Tak hanya BUKU IV saja, PT Bank Danamon Tbk juga menduduki posisi ke-18 dengan total aset mencapai US$ 13,12 miliar akhir tahun 2017 lalu.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bank-bank tersebut secara garis besar masih berada di bawah tiga bank asal Singapura, tiga bank asal Malaysia dan 4 bank dari Thailand.

Ketiga bank asal Singapura tersebut yakni DBS Group Holding Ltd, Oversea-Chinese Banking Corp Ltd (OCBC), United Overseas Bank Ltd (UOB). Sementara, bank asal Malaysia terbesar yakni Malayan Banking Bhd (Maybank), CIMB Group Holdings Bhd, dan Public Bank Bhd.

Adapun keempat bank asal Thailand yang masih memiliki aset lebih tinggi dari seluruh bank di Indonesia yaitu Bangkok Bank PCL, The Siam Commercial Bank PCL, serta Krung Thai, Kasikornbank PCL serta Krung Thai Bank PCL.

Kendati dari segi aset bank asal Indonesia masih kalah, Josua menjelaskan dari sisi prfofitabilitas dalam hal ini return on assets (ROA) dan return on capital (ROC), perbankan Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN.

Pihaknya menjelaskan, bila perbankan Indonesia ingin disejajarkan dengan bank-bank lain di ASEAN, maka diperlukan konsolidasi bank-bank BUN untuk memperkuat permodalan bank.

"Bank dengan permodalan dan skala bisnis yang besar cenderung lebih efektif untuk memperoleh sumber-sumber dana yang besar," katanya kepada Kontan.co.id, Jumat (9/3).

Lebih lanjut, dia menjelaskan, dengan semakin melebarnya dana jumbo yang dapat diserap bank, pada akhirnya perbankan di Indonesia pun dapat bersaing menyalurkan kredit di tengah era MEA dan banking integration di ASEAN pada 2020 mendatang.

Toh, Josua menilai konsolidasi ini menjadi perlu untuk dilakukan mengingat potensi pasar di Indonesia yang masih besar. Sebagaimana terlihat dari Credit to GDP ratio di Indonesia relatif paling kecil dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Bukan hanya dari segi itu saja, Indonesia pun masih menjadi negara dengan tingkat profitabilitas paling menarik dibanding negara ASEAN lain.

Meski untuk meraih hal tersebut, ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu digarap dengan cepat oleh perbankan Indonesia. Antara lain dengan mendorong produktivitas dan efisiensi bisnis untuk dapat menekan cost of fund dan juga besaran suku bunga.

"Perbankan Indonesia juga perlu mendorong produktivitas dan efisiensi nya sehingga dapat menekan cost of fund, margin. Sehingga, tingkat suku bunga kredit perbankan di Indonesia dapat bersaing di kawasan ASEAN," imbuh Josua.

BCA tak ambil pusing

Menanggapi hal ini, Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja tak merasa perlu bersaing dengan sesama bank di ASEAN.

Meski menduduki urutan 13 besar bank paling jumbo dari sisi aset di ASEAN, Jahja tak mau memusingkan hal tersebut.

Menurutnya, dalam praktiknya investor justru lebih tertarik berbisnis dengan bank yang memiliki kualitas baik, terutama dari segi return.

"Tidak guna bertanding adu besar aset, karena investor lebih liat kualitas. Buktinya harga saham BCA 4,5 kali buku. Sedangkan DBS di bawah 2 kali padahal aset DBS 4 kali lebih besar dari BCA," kata Jahja kepada Kontan.co.id, pekan lalu.

Menurut Jahja, ke depan BCA masih akan mempertahankan posisinya sebagai bank dengan kualitas yang baik, dari segi profitabiltias dan kualitas kredit. "Kami tidak mau kejar-kejaran aset, kami mau tumbuh dengan kualitas," singkatnya.

Sebagai gambaran saja, akhir tahun lalu BCA membukukan laba bersih sebesar Rp 23,31 triliun atau naik 13,1%. Dari sisi pendapatan bunga, pihaknya juga berhasil meraup Rp 41,85 triliun tahun 2017 dengan kenaikan 4,1% secara tahunan.

NPL BCA juga berhasil dijaga di level stabil sepanjang 2017 yakni 1,5%. Sementara dari sisi kredit, BCA telah menyalurkan Rp 467,5 triliun pada tahun lalu atau naik 12,4%.

Sedangkan dari sisi earning per share (EPS) BCA tumbuh 13% menjadi Rp 945 tahun lalu dari Rp 836 di tahun 2016.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie