Duh, Indeks Persepsi Korupsi Stagnan, Peringkat Indonesia Turun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Alih-alih meningkat, indeks persepsi korupsi (IPK) malah stagnan. Demikan hasil indeks persepsi korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) 2023 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), Selasa (30/1).

IPK Indonesia stagnan di angka 34 pada tahun 2023.  Untuk diketahui, indeks persepsi korupsi memiliki skor 0-100. Angka 0 berarti paling korup dan angka 100 berarti paling jujur.

Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Heru Suyatmiko mengatakan ada relasi korupsi dan keadilan. Semakin tinggi skor IPK suatu negara maka keadilan semakin tinggi pula. 


Sebaliknya, negara dengan kondisi korupsinya yang buruk maka akses warga negara terhadap keadilan juga semakin jauh. 

TII juga menyatakan, negara yang komitmen anti korupsinya tinggi juga harus menjalankan demokrasinya secara penuh dan akses keadilannya juga tercapai.

Baca Juga: Indeks Intergritas Nasional 2023 Turun, Begini Kata KPK

TII mencatat, pencapaian indeks persepsi korupsi tertinggi Indonesia tercapai tahun 2019 dengan angka 40. Jika ditarik regresi, rata-rata kenaikan IPK Indonesia 0,7. 

Artinya, perlu usaha yang keras bahkan untuk mengejar angka IPK Malaysia dengan angka 50. Apalagi untuk mengejar IPK Singapura dengan angka 83.

"Kita di tahun 2022 ada di skor 34. Skor CPI 2023 kita adalah 34. Kita berada di kondisi stagnan secara skor. Peringkat Indonesia merosot 5 poin, dari yang tadinya rangking 110 ke 115," ujar Wawan dalam konferensi pers, Selasa (30/1).

Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif menyebut, IPK dinilai oleh pakar dan pelaku bisnis. Setelah UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direvisi, IPK Indonesia stabil merah dan peringkatnya turun.

"Dulu ketika indeksnya CPI 40, indikator indikator ekonomi tinggi. Sekarang indikator-indikator ekonominya juga turun," kata Laode. 

Laode mengatakan, Indonesia perlu investasi yang banyak, tetapi di satu sisi tata kelola nya merosot. Sebab itu, Laode mendorong perbaikan demokrasi dan akuntabilitas partai politik.

Selain itu, menghilangkan semua politik uang dan penyakit demokrasi. Serta, menghilangkan semua suap/gratifikasi dalam dunia usaha.

Laode juga meminta mengembalikan independensi KPK dan mengundangkan RUU Asset Recovery. 

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta Presiden dan DPR hasil pemilu 2024 harus serius membenahi UU kepemiluan dan partai politik. 

Perludem juga mendorong demokratisasi internal partai, konsistensi menerapkan kaderisasi, mekanisme pemilihan internal untuk rekrutmen politik, dan syarat minimal sebagai kader untuk pengisian jabatan politik. 

Lebih lanjut Perludem mendorong penegakan hukum yang konsisten untuk praktek politik transaksional. 

"(Perlu segera) Pengesahan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk memotong mata rantai jual beli suara di pemilu dan pilkada," ucap Titi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat