Duh, pengadaan batubara PLN 10 tahun terakhir diduga kemahalan Rp 100 triliun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencermati pengadaan batubara untuk pembangkit listrik PLN dalam sepuluh tahun terakhir atau periode 2009-2019. Selama rentang itu, ada potensi kerugian negara karena biaya pembelian batubara untuk PLN rata-rata lebih mahal Rp 225.000 per ton dibandingkan dengan harga batubara Indonesia yang dibeli oleh China dan India.

Menurut hasil kajian ICW yang rilis pada Senin, (29/6), realisasi volume pemakaian batubara untuk pembangkit listrik milik PLN selama 2009-2019 mencapai 473.602.354 ton. Oleh karena itu secara agregat selisih harga pengadaan batubara mencapai lebih dari Rp 100 triliun selama periode tersebut.

Asal tahu, kajian ICW berangkat dari dua hal. Pertama, mereka melihat selisih biaya pengadaan yang disebabkan oleh rantai pasok dan proses pengadaan yang tidak efisien. Kedua, ICW melihat beban penggunaan dibandingkan dengan beban komponen bahan bakar pada pembangkit listrik batubara yang dioperasikan oleh anak perusahaan PLN.


Kajian ICW menelaah beban penggunaan dibandingkan dengan harga pembelian. "Lalu yang akan kami lihat di sini adalah berapa selisihnya dan siapa yang menanggungnya," kata Firdaus Ilyas, penulis kajian dan mantan peneliti senior Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Selasa, (30/6).

Selain biaya pembelian batubara yang kemahalan, ada juga potensi kerugian negara pada pengadaan batubara di PLTU Suralaya. Kajian ICW membandingkan pengadaan batubara di PLTU Suralaya kelolaan PT Indonesia Power dengan PLTU Paiton kelolaan PT Pembangkitan Jawa Bali. Berdasarkan kalori batubara yang digunakan serta tingkat efisiensi penggunaan, seharusnya komponen biaya untuk bahan bakar yang dikeluarkan PLTU Suralaya lebih rendah dibandingkan dengan PLTU Paiton.

Namun pada kenyataannya, ada indikasi selisih beban komponen batubara pada PLTU Suralaya sebesar Rp 11,159 triliun selama periode 2009-2018. Dengan kata lain, rata-rata nilai indikasi inefisiensi setiap tahun sebesar Rp 1,240 triliun. "Hal ini bisa mempengaruhi beban aktual dan akan tercermin dalam tagihan listrik kita dalam harga per KwH yang kita gunakan di rumah," ujar Firdaus.

Oleh karenanya, temuan inefisiensi tersebut harus diselidiki lebih lanjut. Dengan begitu, bakal ketahuan kesalahan dalam pengadaan, rantai pasok yang panjang karena banyak pencari rente atau penyebab lain yang kemudian mengindikasikan timbul kerugian negara.

Dalam kesempatan yang sama, Elrika Hamdi, peneliti pembiayaan energi dari lembaga kajian internasional International Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyerukan agar PLN membuka data dan melakukan audit kinerja sistem pembangkitan. Dengan begitu, bisa terlihat jelas identifikasi letak kebocoran anggaran dalam rantai nilai pembangkitan listrik Indonesia. Terutama, pembangkit listrik yang menggunakan batubara yang juga merupakan komoditas ekspor.

Andaikata pun pembelian batubara yang lebih mahal itu karena harga yang fluktuatif, IEEFA mempertanyakan sikap PLN yang mempertahankan pasokan. "Kenapa harus dipakai terus dan kenapa pasokannya harus terus ditambah dengan mendorong pembangunan tambang batubara terus menerus?" tanya Elrika.

Sementara IEEFA melihat, PLN tidak diuntungkan dengan kontrak pembelian batubara take or pay. Sebab, perusahaan pelat merah tersebut tetap harus membayar ongkos batubara biarpun listrik tidak digunakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anastasia Lilin Yuliantina