Jakarta. Berhitung sudah menjadi salah satu tugas Anugrah Suryanto selaku engineer di sebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Kali ini, dia berhitung ihwal pengeluaran pribadinya dalam membiayai pembelian bahan bakar minyak (BBM) untuk mobil yang seharihari dipakai untuk bekerja.Setiap hari, Anugrah mengendarai Honda Jazz dari rumahnya di kawasan Jagakarsa ke kantornya di bilangan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Setiap bulan, dia rata-rata membeli 100 liter premium atau mengeluarkan fulus Rp 900.000.Dalam waktu dekat, Anugrah harus menambah pengeluaran bulanan Rp 200.000 untuk membeli BBM. Itulah akibat yang harus dia tanggung kalau pemerintah jadi menetapkan kebijakan dua harga BBM bersubsidi. Pemilik mobil pribadi harus rela membayar premium atau solar Rp 2.000 per liter lebih tinggi dari biasanya. Adapun pemilik sepeda motor, angkutan umum, dan angkutan barang tetap membayar seliter BBM seharga Rp 4.500.Walau mungkin tak seberapa, tambahan pengeluaran ini sempat membuat Anugrah berpikir untuk mengurangi frekuensi pemakaian mobil. Dia berencana lebih banyak mengendarai sepeda motor untuk pergi-pulang bekerja. Tapi, rencana itu agak sulit terwujud karena tuntutan pekerjaan memaksanya untuk lebih banyak memakai mobil. “Ya, mau bagaimana lagi?” kata dia pasrah.Tuntutan pekerjaan dan mobilitas keluarga juga memaksa Fika Ayu Safi tri menyetir mobil dari Bekasi Timur ke Kelapa Gading. Kenaikan harga BBM sudah pasti menambah beban pengeluaran karyawan swasta ini. Tapi, dia tidak memasalahkan karena konsumsi BBM mobilnya, toh, tergolong irit.Fika sama sekali tidak terlintas untuk beralih menggunakan angkutan umum untuk pergi bekerja. Dalihnya sederhana: tidak ada angkutan umum yang nyaman. Moda transportasi umum dari pinggiran Jakarta ke pusat kota selalu penuh penumpang, suka berhenti lama untuk mengumpulkan penumpang alias ngetem, banyak pengamen dan tukang jualan, hingga lakilaki mesum yang melakukan pelecehan seksual.Secara umum, Fika setuju bila pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Satu yang ia sesalkan dari kebijakan ini ialah keputusan pemerintah tetap membolehkan pengendara sepeda motor menenggak BBM bersubsidi dengan harga tak berubah. “Saya punya fi rasat jelek, kalau pengguna motor di jalanan nanti akan melebihi koloni semut,” katanya.Lain cerita dengan Gery Yuliana. Tenaga pemasaran alat pengolahan minyak ini tidak sepakat dengan kebijakan harga BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah. Dia mempertanyakan alasan pemerintah melakukan aksi pukul rata semua mobil pribadi. “Harusnya disesuaikan jenis mobilnya. Masa harga BBM untuk Mitsubishi Pajero sama dengan Toyota Avanza?” ujar Gery.Penetapan harga yang sama ini tidak memenuhi unsur keadilan. Gery berpendapat, pemerintah lebih memfasilitasi para pemilik mobil mewah. Walau secara standar mesin harus memakai BBM nonsubsidi, selama ini banyak mobil mewah yang meminum BBM subsidi seperti “mobil rakyat”.Layaknya Fika, Gery juga tak berminat untuk berpaling ke angkutan umum untuk bekerja. Tapi, alasan Gery agak berbeda. Dia mempertimbangkan citra perusahaannya yang tidak bisa dikorbankan lantaran penampilan tenaga pemasarnya yang lusuh setelah bergelantungan di angkutan umum.Perbaikan infrastrukturKisah tiga warga Ibukota ini bisa menjadi gambaran betapa fasilitas transportasi massal masih jauh dari harapan. Tak cuma dari sisi armada angkutan, kesiapan infrastruktur transportasi juga tergolong minim. Inilah yang mendasari sebagian masyarakat merasa keberatan pemerintah memangkas subsidi BBM. “Kalau pemanfaatan hasil penghematan subsidi jelas tidak masalah. Misalnya, ada bukti setelah harga BBM naik, kemacetan berkurang atau ada pembenahan infrastruktur,” kata Anugrah.Dari kalangan pekerja kerah putih, kita beralih ke pekerja kerah biru alias buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak rencana ini karena menyusahkan warga berpenghasilan rendah, seperti buruh dan warga miskin. “Daya beli buruh bisa turun 30% dari kenaikan upah minimum,” katanya.Senada dengan Said, Ketua Serikat Pekerja Pariwisata DKI Jakarta Jeppy Purba menilai pemerintah telah mengkotakkotakkan rakyatnya. Lihat saja, ada kelompok masyarakat yang mampu tanpa subsidi, lalu dengan subsidi sebagian, dan butuh subsidi penuh.Selain itu, kebijakan ini menurunkan daya beli buruh dan masyarakat. Masyarakat harus mengeluarkan ongkos transportasi lebih besar. Tambahan pengeluaran ini membuat para pekerja tak lagi bisa bekerja dengan nyaman. “Pikirannya terbebani dan itu tentu membuat kinerja mereka tidak optimal,” ungkap Jeppy.Peta opini serupa juga muncul dari kalangan pengusaha. Sebagian besar pebisnis tak mempermasalahkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Direktur Utama PT Toyota Astra Motor Johnny Darmawan mengatakan, selalu mendukung rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM. Kebijakan ini demi mengamankan anggaran pemerintah. “Tapi, seharusnya pemerintah berani mengalihkan pengurangan subsidi ke penyediaan infrastruktur yang selama ini menjadi penyebab kemacetan lalu lintas,” imbuh Johnny.Lebih jauh, Johnny mengakui kenaikan harga BBM bersubsidi khusus mobil pribadi pasti akan memukul bisnis otomotif. Dia mencontohkan, kenaikan harga BBM tahun 2005 yang memaksa penjualan mobil selama empat bulan berturut-turut mengalami penurunan secara drastis. Tapi, untuk kali ini, dia memprediksi efek kenaikan harga BBM tidak terlalu signifikan.Dampak yang tak terlalu besar juga dirasakan pebisnis jasa pengiriman. Direktur Pelaksana PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Johari Zein mengaku sudah memprediksi pengaruh kenaikan harga BBM dalam penentuan tarif pengiriman barang. Apalagi, dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah terlihat maju-mundur dalam menetapkan keputusan harga BBM bersubsidi. Sebagai pengusaha, dia sadar harga BBM cepat atau lambat akan naik.Saat ini, Johari mengatakan masih ada armada pengiriman JNE yang memakai mobil pelat hitam. Tapi, jumlahnya tidak banyak, kok. Selama ini, porsi harga BBM dalam operasional JNE hanya di kisaran 10%-15%. Porsi terbesar justru berada dalam transportasi udara.Faktor lain yang mendongkrak biaya operasional JNE tahun ini adalah kenaikan upah minimum provinsi (UMP). Makanya, tanpa menunggu kepastian pemerintah mengerek harga BBM bersubsidi, Johari sudah lebih dulu menaikkan tarif pengiriman barang melalui JNE. “Ongkos baru berlaku 15 April kemarin,” kata Johari.Tutum Rahanta, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, juga menilai kebijakan tersebut tidak akan membawa pengaruh terlalu besar bagi pasar ritel. Sebab saat ini, sebagian besar industri pemasok ritel sudah menggunakan BBM nonsubsidi. Jadi, kecil kemungkinan mereka akan menaikkan harga jual produk.Tapi, kenaikan harga BBM bersubsidi bisa mengganggu distribusi ritel. Komponen distribusi terhadap biaya operasional ritel secara keseluruhan tidak signifikan, hanya mewakili 1%-2% total biaya operasional. Komponen terbesar biaya operasional ritel adalah tarif sewa, upah buruh, dan tarif dasar listrik (TDL). “Kami lebih terpukul saat UMP dan TDL naik. Beberapa peritel bahkan langsung menaikkan harga jual antara 5%-10%,” ungkap Tutum.Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi Sukamdani juga berpendapat dampak kenaikan harga BBM ini tak sebesar kenaikan tarif listrik. Seharusnya, pemerintah memakai pendekatan yang sama. “Konsumsi listrik rumahtangga itu juga besar, bisa diperlakukan sama,” kata Haryadi.Haryadi menilai, gejolak pasca kenaikan harga BBM nanti hanya akan berlangsung tiga sampai enam bulan saja. Kebijakan ini akan mengerek inflasi antara 2%–5%. Yang penting, kebijakan ini bisa mendorong orang untuk berhemat.Sebagai pengusaha yang berhadapan langsung dengan masyarakat terkait harga BBM, Ketua Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi mengaku siap menerima konsekuensi perilaku konsumen. Dia melihat masyarakat akan menerima kebijakan ini lantaran pemerintah masih mensubsidi BBM untuk sepeda motor. “Tapi, tetap harus ada take and give antara kami dengan pemerintah,” katanya.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 30 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Duit subsidi dihemat, semoga bermanfaat
Jakarta. Berhitung sudah menjadi salah satu tugas Anugrah Suryanto selaku engineer di sebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Kali ini, dia berhitung ihwal pengeluaran pribadinya dalam membiayai pembelian bahan bakar minyak (BBM) untuk mobil yang seharihari dipakai untuk bekerja.Setiap hari, Anugrah mengendarai Honda Jazz dari rumahnya di kawasan Jagakarsa ke kantornya di bilangan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Setiap bulan, dia rata-rata membeli 100 liter premium atau mengeluarkan fulus Rp 900.000.Dalam waktu dekat, Anugrah harus menambah pengeluaran bulanan Rp 200.000 untuk membeli BBM. Itulah akibat yang harus dia tanggung kalau pemerintah jadi menetapkan kebijakan dua harga BBM bersubsidi. Pemilik mobil pribadi harus rela membayar premium atau solar Rp 2.000 per liter lebih tinggi dari biasanya. Adapun pemilik sepeda motor, angkutan umum, dan angkutan barang tetap membayar seliter BBM seharga Rp 4.500.Walau mungkin tak seberapa, tambahan pengeluaran ini sempat membuat Anugrah berpikir untuk mengurangi frekuensi pemakaian mobil. Dia berencana lebih banyak mengendarai sepeda motor untuk pergi-pulang bekerja. Tapi, rencana itu agak sulit terwujud karena tuntutan pekerjaan memaksanya untuk lebih banyak memakai mobil. “Ya, mau bagaimana lagi?” kata dia pasrah.Tuntutan pekerjaan dan mobilitas keluarga juga memaksa Fika Ayu Safi tri menyetir mobil dari Bekasi Timur ke Kelapa Gading. Kenaikan harga BBM sudah pasti menambah beban pengeluaran karyawan swasta ini. Tapi, dia tidak memasalahkan karena konsumsi BBM mobilnya, toh, tergolong irit.Fika sama sekali tidak terlintas untuk beralih menggunakan angkutan umum untuk pergi bekerja. Dalihnya sederhana: tidak ada angkutan umum yang nyaman. Moda transportasi umum dari pinggiran Jakarta ke pusat kota selalu penuh penumpang, suka berhenti lama untuk mengumpulkan penumpang alias ngetem, banyak pengamen dan tukang jualan, hingga lakilaki mesum yang melakukan pelecehan seksual.Secara umum, Fika setuju bila pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Satu yang ia sesalkan dari kebijakan ini ialah keputusan pemerintah tetap membolehkan pengendara sepeda motor menenggak BBM bersubsidi dengan harga tak berubah. “Saya punya fi rasat jelek, kalau pengguna motor di jalanan nanti akan melebihi koloni semut,” katanya.Lain cerita dengan Gery Yuliana. Tenaga pemasaran alat pengolahan minyak ini tidak sepakat dengan kebijakan harga BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah. Dia mempertanyakan alasan pemerintah melakukan aksi pukul rata semua mobil pribadi. “Harusnya disesuaikan jenis mobilnya. Masa harga BBM untuk Mitsubishi Pajero sama dengan Toyota Avanza?” ujar Gery.Penetapan harga yang sama ini tidak memenuhi unsur keadilan. Gery berpendapat, pemerintah lebih memfasilitasi para pemilik mobil mewah. Walau secara standar mesin harus memakai BBM nonsubsidi, selama ini banyak mobil mewah yang meminum BBM subsidi seperti “mobil rakyat”.Layaknya Fika, Gery juga tak berminat untuk berpaling ke angkutan umum untuk bekerja. Tapi, alasan Gery agak berbeda. Dia mempertimbangkan citra perusahaannya yang tidak bisa dikorbankan lantaran penampilan tenaga pemasarnya yang lusuh setelah bergelantungan di angkutan umum.Perbaikan infrastrukturKisah tiga warga Ibukota ini bisa menjadi gambaran betapa fasilitas transportasi massal masih jauh dari harapan. Tak cuma dari sisi armada angkutan, kesiapan infrastruktur transportasi juga tergolong minim. Inilah yang mendasari sebagian masyarakat merasa keberatan pemerintah memangkas subsidi BBM. “Kalau pemanfaatan hasil penghematan subsidi jelas tidak masalah. Misalnya, ada bukti setelah harga BBM naik, kemacetan berkurang atau ada pembenahan infrastruktur,” kata Anugrah.Dari kalangan pekerja kerah putih, kita beralih ke pekerja kerah biru alias buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak rencana ini karena menyusahkan warga berpenghasilan rendah, seperti buruh dan warga miskin. “Daya beli buruh bisa turun 30% dari kenaikan upah minimum,” katanya.Senada dengan Said, Ketua Serikat Pekerja Pariwisata DKI Jakarta Jeppy Purba menilai pemerintah telah mengkotakkotakkan rakyatnya. Lihat saja, ada kelompok masyarakat yang mampu tanpa subsidi, lalu dengan subsidi sebagian, dan butuh subsidi penuh.Selain itu, kebijakan ini menurunkan daya beli buruh dan masyarakat. Masyarakat harus mengeluarkan ongkos transportasi lebih besar. Tambahan pengeluaran ini membuat para pekerja tak lagi bisa bekerja dengan nyaman. “Pikirannya terbebani dan itu tentu membuat kinerja mereka tidak optimal,” ungkap Jeppy.Peta opini serupa juga muncul dari kalangan pengusaha. Sebagian besar pebisnis tak mempermasalahkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Direktur Utama PT Toyota Astra Motor Johnny Darmawan mengatakan, selalu mendukung rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM. Kebijakan ini demi mengamankan anggaran pemerintah. “Tapi, seharusnya pemerintah berani mengalihkan pengurangan subsidi ke penyediaan infrastruktur yang selama ini menjadi penyebab kemacetan lalu lintas,” imbuh Johnny.Lebih jauh, Johnny mengakui kenaikan harga BBM bersubsidi khusus mobil pribadi pasti akan memukul bisnis otomotif. Dia mencontohkan, kenaikan harga BBM tahun 2005 yang memaksa penjualan mobil selama empat bulan berturut-turut mengalami penurunan secara drastis. Tapi, untuk kali ini, dia memprediksi efek kenaikan harga BBM tidak terlalu signifikan.Dampak yang tak terlalu besar juga dirasakan pebisnis jasa pengiriman. Direktur Pelaksana PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Johari Zein mengaku sudah memprediksi pengaruh kenaikan harga BBM dalam penentuan tarif pengiriman barang. Apalagi, dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah terlihat maju-mundur dalam menetapkan keputusan harga BBM bersubsidi. Sebagai pengusaha, dia sadar harga BBM cepat atau lambat akan naik.Saat ini, Johari mengatakan masih ada armada pengiriman JNE yang memakai mobil pelat hitam. Tapi, jumlahnya tidak banyak, kok. Selama ini, porsi harga BBM dalam operasional JNE hanya di kisaran 10%-15%. Porsi terbesar justru berada dalam transportasi udara.Faktor lain yang mendongkrak biaya operasional JNE tahun ini adalah kenaikan upah minimum provinsi (UMP). Makanya, tanpa menunggu kepastian pemerintah mengerek harga BBM bersubsidi, Johari sudah lebih dulu menaikkan tarif pengiriman barang melalui JNE. “Ongkos baru berlaku 15 April kemarin,” kata Johari.Tutum Rahanta, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, juga menilai kebijakan tersebut tidak akan membawa pengaruh terlalu besar bagi pasar ritel. Sebab saat ini, sebagian besar industri pemasok ritel sudah menggunakan BBM nonsubsidi. Jadi, kecil kemungkinan mereka akan menaikkan harga jual produk.Tapi, kenaikan harga BBM bersubsidi bisa mengganggu distribusi ritel. Komponen distribusi terhadap biaya operasional ritel secara keseluruhan tidak signifikan, hanya mewakili 1%-2% total biaya operasional. Komponen terbesar biaya operasional ritel adalah tarif sewa, upah buruh, dan tarif dasar listrik (TDL). “Kami lebih terpukul saat UMP dan TDL naik. Beberapa peritel bahkan langsung menaikkan harga jual antara 5%-10%,” ungkap Tutum.Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi Sukamdani juga berpendapat dampak kenaikan harga BBM ini tak sebesar kenaikan tarif listrik. Seharusnya, pemerintah memakai pendekatan yang sama. “Konsumsi listrik rumahtangga itu juga besar, bisa diperlakukan sama,” kata Haryadi.Haryadi menilai, gejolak pasca kenaikan harga BBM nanti hanya akan berlangsung tiga sampai enam bulan saja. Kebijakan ini akan mengerek inflasi antara 2%–5%. Yang penting, kebijakan ini bisa mendorong orang untuk berhemat.Sebagai pengusaha yang berhadapan langsung dengan masyarakat terkait harga BBM, Ketua Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi mengaku siap menerima konsekuensi perilaku konsumen. Dia melihat masyarakat akan menerima kebijakan ini lantaran pemerintah masih mensubsidi BBM untuk sepeda motor. “Tapi, tetap harus ada take and give antara kami dengan pemerintah,” katanya.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 30 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News