Dukung Audit Perusahaan Sawit, Ini Masukan dari Serikat Petani Kelapa Sawit



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendukung rencana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk melakukan audit seluruh perusahaan di industri perkebunan kelapa sawit. Namun, SPKS juga menyampaikan sejumlah catatan soal rencana audit tersebut.

Sekretaris Jendral SPKS Mansuetus Darto mengatakan, audit ini sangat diperlukan dan pemerintah diharapkan betul-betul serius melakukannya dengan menjangkau seluruh persoalan yang ada di industri sawit. Karena langkah tersebut sebagai bentuk keseriusan pemerintah memperbaiki tata kelola industri sawit pada sektor hulu dan hilir.

“Langkah audit yang akan dilakukan Menko Marves seharusnya tidak saja berfokus pada persoalan perizinan. Tetapi mencakup semua permasalah laten yang ada di lapangan saat ini," ujar Darto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/5).


Darto mengatakan, pembenahan tata kelola industri perkebunan sawit di tanah air tidak berhenti pada persoalan legalitas seperti perizinan, HGU dan plasma. Industri sawit nasional juga menjadi perhatian dunia internasional terutama menyangkut keberlanjutan pada aspek lingkungan yang menyangkut masalah deforestasi dan kebakaran lahan dan hutan.

Baca Juga: Subsidi Minyak Goreng Akan Dicabut, Panjangnya Rantai Distribusi Jadi Persoalan

Hal ini yang masih absen dilakukan. Pembenahan sistem perkebunan kelapa sawit harus datang dari komitmen pemerintah sendiri terutama dalam hal penyusunan kebijakan dan aturan. Lalu diikuti langkah audit dan evaluasi terhadap kepatuhan pelaku usaha di sektor industri sawit.

Darto mencontohkan, soal data perkebunan sawit rakyat masih memiliki masalah. Data yang dikeluarkan Kementerian Pertanian pada tahun 2019 menyebut, luas perkebunan sawit rakyat di bawah 25 hektare ada seluas 6,7 juta hektare. Namun, data tahun 2022 dari lembaga Auriga luas perkebunan petani sawit rakyat hanya 2,3 juta hektare.

Artinya masih banyak yang memiliki lahan di atas 25 hektare kemudian mengatasnamakan sebagai petani sawit. Hal ini tentunya butuh evaluasi juga agar pemilik lahan di atas 25 hektare wajib mengantongi izin usaha perkebukan (IUP) dan memiliki HGU.

Belum lagi dari aspek lingkungan seperti larangan penanamaan sawit di sepadan sungai sungai dan perlindungan spesies yang dilindungi dan lain-lain yang menjadi bagian dalam upaya pemenuhan prinsip keberlanjutan.

"Jadi, kalau pemerintah mau mengevaluasi atau mengaudit, harus menjangkau semua permasalahan yang ada," tegas Darto.

Baca Juga: Bulog: Distribusi Minyak Goreng Curah Sudah Siap

Darto mengatakan, dalam kaitannya dengan masalah kelangkaan minyak goreng, dan praktik penyimpangan dalam kegiatan ekspor yang dilakukan oleh korporasi besar, maka langkah audit ini tidak hanya menyasar pada aspek legalitas kepatuhan hukum semata. Namun, perhatian pemerintah juga menjangkau pembenahan struktur pasar di industri sawit dari hulu hingga hilir.

Darto menyebut, pasca pencabutan aturan larangan sementara ekspor CPO oleh Presiden Jokowi, seharusnya ada langkah untuk memperbaiki struktur pasar oligopoli di industri hulu perkebunan kelapa sawit dan struktur pasar monopoli di sektor hilir.

Hal itu karena keadaan struktur pasar yang demikian telah menyingkirkan petani sawit sebagai pelaku rantai pasok dan penyingkiran petani atas tanah karena penguasaan tanah yang timpang sebagai dampak perluasan lahan yang melebihi ketentuan yang berlaku.

"Situasi yang terjadi selama ini banyak pabrik kelapa sawit tidak menerima tandan buah segar (TBS) kelapa sawit produksi petani. Mereka lebih mengutamakan suplai TBS dari kebun inti," ungkap Darto.

Darto menyebut, rencana pemerintah melakukan audit ini sesungguhnya bukan yang pertama kali direncanakan dan dilakukan.

Sebelumnya, sudah ada instrument kebijakan moratorium sawit selama tiga tahun yang tujuannya sama, untuk penundaan pemberian izin usaha perkebunan sawit sekaligus langkah evaluasi dan penegakan hukum.

Lalu ada upaya penguatan data sawit (seperti luas HGU, luas izin sawit dan realisasi pembangunan kebun minimal 20% untuk masyarakat), serta pendataan dan pemetaan kebun sawit. Sekaligus pengurusan legalitas lahan dan usaha untuk kebun sawit yang dikelola rakyat secara keseluruhan di wilayah sentra sawit.

"Kebijakan moratorium sawit juga menyasar pada upaya peningkatan produktivitas dan pembinaan kelembagaan pekebun," ucap Darto.

Persoalannya, kata Darto, selama ini belum ada tindakan nyata yang dilakukan di lapangan serta upaya penegakan hukum yang tegas. Karena permasalahan di industri sawit selama ini belum menjadi prioritas sebelum permasalahan kelangkaan minyak goreng dan larangan ekspor CPO yang terjadi beberapa waktu belakangan.

Lebih lanjut, Darto mengatakan, pelaksanaan evaluasi izin, HGU dan realisasi 20% ini belum terlihat hasilnya, sejauh mana evaluasinya dan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah selama 3 tahun moratorium berjalan.

Baca Juga: Pertama Kali dalam Sejarah Indonesia, Perusahaan Kelapa Sawit Akan Diaudit

Dalam catatan SPKS, moratorium sawit belum berjalan maksimal, hingga aturan ini dicabut kembali. Demikian juga untuk pembenahan sawit rakyat dengan pemetaan lahan dan pengurusan legalitas lahan dan usaha (SHM dan STDB) serta peningkatan produktivitas, sama sekali belum terlihat hasilnya.

Padahal, tujuan moratorium sawit ini merupakan mandat langsung yang diberikan Presiden untuk seluruh kementerian/lembaga terkait di level pusat dan kepada pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota.

Darto menyebut, seharusnya yang dilakukan pemerintah saat ini adalah pengawasan dan penegakan hukum. Evaluasi sudah dilakukan dalam kebijakan sebelumnya, artinya pemerintah sudah memiliki data yang jelas dan lengkap terkait masalah izin, HGU dan kebun seluas minimal 20% untuk masyarakat.

"Jangan sampai langkah untuk audit kembali hanya akan jadi wacana saja tanpa ada penegakan hukum yang tegas, hanya mengulang kembali langkah yang sudah ada sebelumnya," terang Darto.

Darto mengungkapkan, selain data yang dimiliki pemerintah, aduan dari masyarakat sipil terkait masalah tumpang tindih perizinan dan HGU korporasi dengan lahan masyarakat adat/lokal dan petani sawit juga sudah banyak dilakukan selama proses moratorium sawit berjalan.

"Hal ini yang seharusnya perlu diakomodir dan diprioritaskan penyelesaiannya oleh pemerintah untuk pembenahan industri sawit dan menjadi kewenangannya untuk melakukan penegakan hukum lebih lanjut," jelas Darto.

Darto mencontohkan, pelaksanaan moratorium sawit yang dilakukan Pemprov Papua Barat bisa dijadikan contoh dalam upaya penegakan hukum serta pembenahan industri sawit nasional.

Tahun 2021, Pemprov Papua Barat dan KPK melakukan evaluasi terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit.

Setidaknya ada 12 perusahaan perkebunan sawit di Provinsi Papua Barat yang dicabut izinnya karena bermasalah, mulai dari pelanggaran legalitas atau administrasi perizinan misalnya kewajiban memiliki IUP dan IPK.

Serta tidak melakukan pelaporan perubahan kepemilikan saham dan kepengurusan, dan belum memperoleh HGU.

Lalu ada pelanggaran operasional, seperti kewajiban pembangunan kebun inti dan realisasi pembangunan kebun plasma, melakukan penanaman di lahan gambut, tumpang tindih dengan Kawasan Hutan, dan melakukan penanaman melebihi IUP dan tanpa memiliki HGU. Selain itu banyak perusahaan yang juga melakukan praktik land bank.

Selain proses penegakan hukum, langkah untuk melakukan evaluasi atau audit di sektor sawit selalu dihadapkan pada persoalan laten yang menyangkut tumpang tindih/ketidakharmonisan berbagai aturan yang berlaku.

Misalnya, dalam konteks fasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20%, masih menjadi perdebatan, terutama ketentuan tentang sumber lahan yang akan dibangun, dan tentu saja hal semacam ini terjadi pada aturan lainnya, seperti masalah penyelesaian kebun dalam kawasan hutan.

"Masalah tumpang tindih aturan juga harus menjadi perhatian pemerintah," imbuh Darto.

Baca Juga: BPKP Akan Audit Perusahaan Kelapa Sawit

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat