Dukungan pemerintah dianggap minim, pebisnis film lokal meringis



JAKARTA. Pembatasan penayangan film impor di Indonesia tak cuma mengecewakan pecinta film Hollywood. Setelah jumlah pengunjung bioskop melorot dan membikin omzet bioskop turun sampai 60%, sehingga produser film lokal ikut meringis.Hanung Bramantyo, sutradara PT Dapur Film mengaku, belakangan target penonton film karyanya menurun. Film buatannya berjudul Tanda Tanya misalnya, hanya bertahan 1,5 bulan saja sejak diluncurkan April 2011.Produksi film Tanda Tanya yang bertema religi ini membutuhkan biaya Rp 5 miliar. Sedangkan promosi mencapai Rp 2 miliar. "Target 1 juta penonton, kenyataannya cuma 580.000 orang. Baru balik modal (break event point/BEP) minimal 700.000," tutur Hanung kepada KONTAN, Rabu (22/6).Kejadian serupa dialami tahun lalu pada film Sang Pencerah. Biaya produksi dan promosi menelan Rp 15 miliar dengan target penonton 3 juta orang. Kenyataannya, bertahan lebih 2 bulan angkanya tak beranjak dari 1,2 juta penonton."Meresahkan sekali, film agama saja sampai tidak ada yang mau mensponsori. Dampak serbuan dari film impor. Setelah dibatasi, seharusnya produser lokal berlomba-lomba membuat film bermutu. Kalau film yang disajikan tidak bermutu, orang makin nggak mau nonton," keluh dia.Bulan ini Hanung meluncurkan Tendangan dari Langit. Film ini menelan biaya produksi dan promosi sebesar Rp 6 miliar. "Mau optimistis tapi sulit, makanya berusaha promosi lewat stasiun televisi swasta," kata Hanung. Ia menargetkan film ini akan ditonton sebanyak 3 juta orang.

Di luar negeri, kata Hanung, biaya terbesar digelontorkan untuk menggaji bintang dan kru. Sedangkan di Indonesia, biaya alat-alat dengan kontribusi mencapai 30%. Juga, yang menjadi tantangan besar memproduksi film bagaimana meyakinkan investor. Beda halnya dengan Turki, setiap pembuatan film diberi insentif 20%-30%."Kalau memang mau mendongkrak film lokal dengan pembatasan film impor, harusnya ada badan swasta yang bertugas menyeleksi film, supaya kita tahu selera masyarakat," terang Hanung.Raam Jethmal Punjabi, produser PT Multivision Plus, mengaku tetap menargetkan 12 judul yang bisa diproduksi tahun ini. Tema tetep didominasi cerita horor. "Kelihatan penontonnya banyak, tapi sebenarnya selalu di bawah target," kata Raam.Rata-rata tiap film memakan biaya Rp 3 miliar sampai Rp 4 miliar. Duit segitu, kata Raam, jelas tidak cukup untuk memproduksi film bertema kepahlawanan. "Tidak balik modal, pemerintah harus ulurkan tangan. Dari dulu saya teriak untuk bisa dibentuk Film Finance Corporation, jadi kita bisa tahu film bermutu itu seperti apa, kalau hasilnya tema yang itu-itu saja, penonton lari," ujar Raam.Sementara itu, Nia Dinata mengusulkan perfilman Indonesia mencontoh Korea (Korean Film Commission) ataupun Prancis. Selain lebih mantap merealisasikan film, ada insentif bagi pembuat film. "Di luar negeri ada penyandang dananya untuk para produser dan sutradara lokal lebih semangat membuat film," kata Nia.Pengamat perfilman sekaligus sutradara dan produser, Deddy Mizwar, berpandangan seharusnya bisnis film lokal di Indonesia membaik tahun ini. Sebab, film adalah bagian kehidupan masyarakat. “Saya hanya berencana memproduksi satu film saja tahun ini,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Rizki Caturini