Tekad kuat mengantarkan Anton Tanuwidjaya menjadi juragan kecap. Di bawah merek Kecap Nasional, bisnisnya bertahan hingga lebih dari tiga dasawarsa dan mampu bersaing dengan pemain besar lain. Omzetnya sampai Rp 40 miliar sebulan.Sering makan bakso atau mi ayam di pinggir jalan? Anda pasti sangat familier dengan Kecap Nasional. Merek kecap ini memang lebih banyak dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan hotel, restoran, dan katering (horeka) yang porsinya sampai 80% dari total distribusi Kecap Nasional.Kecap Nasional adalah merek lokal yang diproduksi di bawah bendera PD Sari Sedap Indonesia, perusahaan yang kantor pusatnya di Bekasi, Jawa Barat. Selain Nasional, Sari Sedap juga memproduksi dua merek lain, yakni Masa dan Cabe Gunung. Produknya bukan hanya kecap, ada juga saus dan sirop. Namun, kecap, khususnya Kecap Nasional menjadi andalan.Menurut pemilik Sari Sedap, Anton Tanuwidjaya, dari sisi volume penjualan, saus justru menempati porsi 65%-70% dari total produksi Sari Sedap. Namun, lantaran harga saus lebih murah ketimbang kecap, kontribusi pendapatan dua produk ini relatif sama. “Omzet per bulan Rp 30 miliar–Rp 40 miliar,” ujar pria berumur 67 tahun ini.Anton merasa sangat bersyukur terhadap pencapaiannya saat ini dan tak pernah membayangkan bakal sesukses sekarang. Sebab, saat mengawali usaha, dia hanya ingin hidupnya menjadi lebih baik. Maklum, pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ini adalah perantau asal Kalimantan Barat.Lahir dan besar di Pontianak, Anton semula bekerja sebagai pedagang ayam di pasar. Kedua orang tuanya berdagang bawang. Anak pertama dari 11 bersaudara ini sadar bahwa kehidupan di kota yang kala itu belum maju tidak akan membuatnya sukses. “Tahun 1971, saya diajak saudara bekerja di pabrik kertas di daerah Kota, Jakarta,” katanya.Bekerja di pabrik kertas dengan upah minim memang membuat Anton tidak cukup puas. Hingga, suatu kali, dia bertemu dengan kenalan yang mengajarkan cara membuat kecap yang baik dan enak. Kebetulan, di dekat pabrik kertas tersebut, ada pabrik kecap. Anton melihat pabrik itu sangat maju. Dia punya keinginan untuk masuk ke bisnis kecap. Dengan modal awal dari tabungan pribadi dan pinjaman saudara sebesar Rp 3.000, dia keluar dari pabrik kertas dan memberanikan diri membuka usaha pembuatan kecap pada tahun 1974. Anton membikin sendiri resep kecap. Awalnya, kapasitas produksinya hanya 30 lusin botol ukuran 625 mililiter (ml) dalam sehari. Merek perdana yang dipakai Anton adalah Cabe Gunung dan Cap Mangkok di bawah bendera usaha Sari Sedap. Ia mendistribusikan produk ini sendiri dengan mengendarai sepeda, keliling Jakarta.Meski tak langsung berkembang besar, bisnis kecap Anton cukup stabil. Tahun 1978, dia memindahkan usahanya ke Bekasi lantaran pabriknya di Kota akan kena gusur. Berlokasi di pabrik baru ini, merek yang diproduksi Sari Sedap makin beragam. Ada dua merek baru: Nasional dan Masa. Kapasitas produksinya juga mulai naik menjadi 6.000–7.000 lusin botol ukuran 625 ml per bulan.Anton mengungkapkan, titik awal geliat usahanya justru terjadi sejak tahun 1997. Kala itu, kondisi ekonomi Tanah Air sedang morat-marit. Banyak perusahaan kecap, baik skala besar maupun kecil, gulung tikar. Akibatnya, banyak produk kecap yang hilang di pasar. Padahal, kebutuhan akan penyedap masakan ini tetap ada, meski krisis menghantam.Berkah datang justru saat musibahDi tengah kondisi pasar seperti itu, Sari Sedap bisa tetap bertahan lantaran memiliki jaringan bisnis yang kuat. Tak ayal, saat yang lain susah, Sari Sedap justru kebanjiran pesanan. “Stok kecap untuk tiga bulan ke depan sampai ludes dan saya harus menambah kapasitas produksi serta para tenaga penjual,” beber Anton.Soal jaringan bisnis yang kuat, Anton punya rahasia. Dia lebih mengejar penjualan dalam sisi volume ketimbang margin. “Saya lebih memilih mendapat untung tiga dari 10 pembeli ketimbang untung tiga dari tiga pembeli,” katanya memberikan gambaran. Menurutnya, bisnis akan lebih kuat berpijak jika besar pada sisi volume.Tak heran, harga jual produk kecap buatan Anton bisa lebih miring hingga 60% ketimbang kompetitor. Meski harga lebih miring, dia berani menantang kompetitor soal kualitas.Saat ini, kapasitas produksi Kecap Nasional mencapai 100.000 lusin botol ukuran 625 ml dan 30.000 lusin isi ulang (refill) per bulan. Pabrik Sari Sedap di Bekasi yang seluas 15 hektare (ha) menyerap hingga 1.600 karyawan. Hebatnya, sejak dua tahun lalu, produk Sari Sedap bahkan sudah diekspor ke pasar mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vancouver, Kanada, dengan merek Sari Sedap Indonesia.Tahun ini, Sari Sedap berencana meluncurkan produk kecap baru yang kelasnya lebih premium. Anton menjanjikan, kualitas produk ini makin bagus. “Kami ingin menyasar pasar ritel,” ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Dulu Anton mulai berusaha bermodal ribuan, kini beromzet miliaran
Tekad kuat mengantarkan Anton Tanuwidjaya menjadi juragan kecap. Di bawah merek Kecap Nasional, bisnisnya bertahan hingga lebih dari tiga dasawarsa dan mampu bersaing dengan pemain besar lain. Omzetnya sampai Rp 40 miliar sebulan.Sering makan bakso atau mi ayam di pinggir jalan? Anda pasti sangat familier dengan Kecap Nasional. Merek kecap ini memang lebih banyak dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan hotel, restoran, dan katering (horeka) yang porsinya sampai 80% dari total distribusi Kecap Nasional.Kecap Nasional adalah merek lokal yang diproduksi di bawah bendera PD Sari Sedap Indonesia, perusahaan yang kantor pusatnya di Bekasi, Jawa Barat. Selain Nasional, Sari Sedap juga memproduksi dua merek lain, yakni Masa dan Cabe Gunung. Produknya bukan hanya kecap, ada juga saus dan sirop. Namun, kecap, khususnya Kecap Nasional menjadi andalan.Menurut pemilik Sari Sedap, Anton Tanuwidjaya, dari sisi volume penjualan, saus justru menempati porsi 65%-70% dari total produksi Sari Sedap. Namun, lantaran harga saus lebih murah ketimbang kecap, kontribusi pendapatan dua produk ini relatif sama. “Omzet per bulan Rp 30 miliar–Rp 40 miliar,” ujar pria berumur 67 tahun ini.Anton merasa sangat bersyukur terhadap pencapaiannya saat ini dan tak pernah membayangkan bakal sesukses sekarang. Sebab, saat mengawali usaha, dia hanya ingin hidupnya menjadi lebih baik. Maklum, pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ini adalah perantau asal Kalimantan Barat.Lahir dan besar di Pontianak, Anton semula bekerja sebagai pedagang ayam di pasar. Kedua orang tuanya berdagang bawang. Anak pertama dari 11 bersaudara ini sadar bahwa kehidupan di kota yang kala itu belum maju tidak akan membuatnya sukses. “Tahun 1971, saya diajak saudara bekerja di pabrik kertas di daerah Kota, Jakarta,” katanya.Bekerja di pabrik kertas dengan upah minim memang membuat Anton tidak cukup puas. Hingga, suatu kali, dia bertemu dengan kenalan yang mengajarkan cara membuat kecap yang baik dan enak. Kebetulan, di dekat pabrik kertas tersebut, ada pabrik kecap. Anton melihat pabrik itu sangat maju. Dia punya keinginan untuk masuk ke bisnis kecap. Dengan modal awal dari tabungan pribadi dan pinjaman saudara sebesar Rp 3.000, dia keluar dari pabrik kertas dan memberanikan diri membuka usaha pembuatan kecap pada tahun 1974. Anton membikin sendiri resep kecap. Awalnya, kapasitas produksinya hanya 30 lusin botol ukuran 625 mililiter (ml) dalam sehari. Merek perdana yang dipakai Anton adalah Cabe Gunung dan Cap Mangkok di bawah bendera usaha Sari Sedap. Ia mendistribusikan produk ini sendiri dengan mengendarai sepeda, keliling Jakarta.Meski tak langsung berkembang besar, bisnis kecap Anton cukup stabil. Tahun 1978, dia memindahkan usahanya ke Bekasi lantaran pabriknya di Kota akan kena gusur. Berlokasi di pabrik baru ini, merek yang diproduksi Sari Sedap makin beragam. Ada dua merek baru: Nasional dan Masa. Kapasitas produksinya juga mulai naik menjadi 6.000–7.000 lusin botol ukuran 625 ml per bulan.Anton mengungkapkan, titik awal geliat usahanya justru terjadi sejak tahun 1997. Kala itu, kondisi ekonomi Tanah Air sedang morat-marit. Banyak perusahaan kecap, baik skala besar maupun kecil, gulung tikar. Akibatnya, banyak produk kecap yang hilang di pasar. Padahal, kebutuhan akan penyedap masakan ini tetap ada, meski krisis menghantam.Berkah datang justru saat musibahDi tengah kondisi pasar seperti itu, Sari Sedap bisa tetap bertahan lantaran memiliki jaringan bisnis yang kuat. Tak ayal, saat yang lain susah, Sari Sedap justru kebanjiran pesanan. “Stok kecap untuk tiga bulan ke depan sampai ludes dan saya harus menambah kapasitas produksi serta para tenaga penjual,” beber Anton.Soal jaringan bisnis yang kuat, Anton punya rahasia. Dia lebih mengejar penjualan dalam sisi volume ketimbang margin. “Saya lebih memilih mendapat untung tiga dari 10 pembeli ketimbang untung tiga dari tiga pembeli,” katanya memberikan gambaran. Menurutnya, bisnis akan lebih kuat berpijak jika besar pada sisi volume.Tak heran, harga jual produk kecap buatan Anton bisa lebih miring hingga 60% ketimbang kompetitor. Meski harga lebih miring, dia berani menantang kompetitor soal kualitas.Saat ini, kapasitas produksi Kecap Nasional mencapai 100.000 lusin botol ukuran 625 ml dan 30.000 lusin isi ulang (refill) per bulan. Pabrik Sari Sedap di Bekasi yang seluas 15 hektare (ha) menyerap hingga 1.600 karyawan. Hebatnya, sejak dua tahun lalu, produk Sari Sedap bahkan sudah diekspor ke pasar mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vancouver, Kanada, dengan merek Sari Sedap Indonesia.Tahun ini, Sari Sedap berencana meluncurkan produk kecap baru yang kelasnya lebih premium. Anton menjanjikan, kualitas produk ini makin bagus. “Kami ingin menyasar pasar ritel,” ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News