Bila Anda penggemar keju, tentu keju gouda bukanlah hal asing. Namanya mengacu pada Kota Gouda, Belanda, yang tak lain merupakan asal mula produk keju jenis ini. Keju gouda berwarna kuning tua, termasuk dalam golongan keju semi padat (
semi hard cheese) hingga padat (
hard cheese). Citarasanya yang khas, pahit dan pekat, membuat reputasinya mendunia. Teknik pembuatan keju dari Gouda itu pun menyebar ke berbagai pelosok dunia. Alhasil, keju gouda menjadi nama general, seperti halnya keju cheddar asal Inggris. Di Indonesia, ada seorang pengusaha yang tekun memproduksi keju gouda. Rachmantio, nama pengusaha itu. Dengan bendera PT Bukit Baros Cempaka, pengusaha kelahiran Cirebon ini mengolah dan memproduksi keju gouda dengan masa pemeraman antara 1,5 bulan hingga lebih dari empat bulan. Berkat ketekunannya, produk keju gouda bermerek Baros sejajar dengan produk-produk keju impor. “Saya pilih gouda, bukan cheddar, karena kualitasnya. Saya lihat, cukup bagus, wangi gitu,” tutur Rachmantio.
Produk keju Baros telah masuk ke ritel-ritel modern, seperti Kem Chicks, AEON, HERO, GrandLucky, Giant, Farmers Market, Gelael, dan Food Hall. Beberapa jaringan perusahaan boga juga setia menggunakan produknya, di antaranya Clairmont Patisserie, Aerowisata, produsen es krim Diamond, Lotteria, Purantara In-Flight Catering, Kartika Sari, gerai pizza Izzi, dan Dutch Resto. Namun, tidak semuanya memakai merek Baros. Tidak semuanya juga produk keju gouda. Sebab, dalam perjalanannya, produk Baros berkembang, di antaranya keju cheddar, keju edam, dan yogurt. “Kami tidak suka jual, lebih suka produksi. Jadi kami lebih suka kerjasama maklun,” ujar Rachmantio. Toh, keju padat tetap jadi produk andalan. “Satu klien, bisa bikin 20 ton,” ungkap pria yang 9 Juli nanti genap berusia 79 tahun itu. Berawal dari hobi Ditemui di kantornya di daerah Matraman, Jakarta, Rachmantio mengisahkan, awalnya ia tidak bermaksud terjun ke bisnis keju. Terlahir di keluarga pebisnis sukses, Rachmantio punya kesempatan bersekolah hingga ke luar negeri. Bahkan, lulusan Technical University di Jerman ini sempat mencicipi kerja di negeri yang kala itu masih berstatus Jerman Barat. Saat akhirnya memutuskan kembali ke tanah air pada awal 1970-an, ia sebenarnya tak berniat mengikuti jejak sang ayah sebagai seorang kontraktor. Sebab, kerasnya bisnis di sektor konstruksi membuat sang ayah tak begitu dekat dengan anak-anaknya. “Awalnya, ingin lebih ke consulting di bidang material saja,” ujar anak ke-10 dari 12 bersaudara ini. Tapi, buah ternyata jatuh tak jauh dari pohonnya. Pada 1973, ia mendirikan CV Titan yang bergerak di bidang konstruksi. Belum lama berdiri, perusahaannya berhasil meraih kontrak yang lumayan besar. Seiring dengan pertumbuhan bisnis, perusahaannya berubah menjadi PT Karya Titan. “Kita pernah menggarap proyek Telkom di Aceh, kantor Honda dari Astra, proyek tangki Pertamina di Balikpapan dan ada juga proyek pemukiman untuk pengungsi di Pulau Galang,” kenang dia. Konstruksi pernah jadi urat nadi bisnisnya. Juga bagian penting dalam kehidupan Rachmantio. Tak heran, lukisan bertema pembangunan memenuhi dinding kantornya. Ada kendaraan besar tengah membawa beton. Ada juga beberapa alat berat tengah bekerja membangun jembatan. Bersama dengan sebuah perusahaan besar nasional, ia pun pernah berkongsi mendirikan perusahaan pengecoran baja. Badai krisis moneter 1998 memaksanya menjual usaha ini ke perusahaan asal Jerman. “Sampai sekarang, itu jadi pabrik pompa yang terbesar dari Jerman,” ujar Rachmantio. Sukses berbisnis tak membuat Rachmantio melupakan hobinya. Terlahir di daerah Tangkil, Cirebon yang merupakan kawasan ternak sapi, ia pun senang beternak sapi dan ayam. Alhasil, dengan modal dari keuntungan Karya Titan, ia membeli lahan sekitar 26 hektare di Desa Sasagaran, Kebon Pedes, Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi ini kini lebih dikenal sebagai Bukit Baros. “Waktu membeli tanah di Baros itu, tanahnya enggak bisa dibayangkan. Dulu tidak teratur seperti sekarang, alang-alang semua,” kata dia. Lantaran punya bisnis di konstruksi, Rachmantio mendatangkan alat berat dan menata kawasan itu. Dengan bendera PT Bukit Baros Cempaka, ia memulai bisnis perkebunan dan peternakan kecil-kecilan di sana pada 1983. Saat itu, ia memiliki sekitar 45.000 ekor ayam dan 20 ekor sapi. Selain bidang peternakan, Rachmantio juga mencoba menanam cabai. Terpicu krisis moneter Tak dinyana, hobi itulah yang mengubah arah bisnis utamanya. Berawal dari krisis moneter 1998, ia melihat banyak peternak sapi perah di area Sukabumi tak mendapat perhatian pemerintah dan sulit menjual susu produksi mereka. Tergerak oleh kondisi ini, Rachmantio sempat membuat pabrik konsentrat untuk mendukung usaha sapi perah. Ia juga berpikir menampung produksi susu sapi dari para peternak tadi. Untuk mengolah susu itu, ia pun nekad mendirikan pabrik keju gouda. Pertimbangannya cuma satu; tak seperti produk turunan susu lainnya, produk keju susah ditiru. Tak mau setengah-setengah, Rachmantio mendatangkan tenaga ahli dari Belanda untuk mengajari 11 karyawannya. Akhirnya, pada 2002, mereka mulai memproduksi keju gouda dengan merek Natura. Baru pada 2014, merek ini diubah menjadi Baros, hingga saat ini. “Kita sekarang tiap tahun dinilai, ada ahlinya, angkanya 93-95 dari 100,” ungkap Rachmantio bangga. Sebelum sukses seperti sekarang, pekerjaan rumah terbesar Rachmantio sebenarnya adalah menjual produk keju ini. Maklum, masyarakat Indonesia terbiasa dengan satu merek keju olahan yang kandungan keju murninya sebenarnya hanya 2%-6%. Tak mudah menembus dan meyakinkan pasar. “Itu sulit juga. Butuh waktu kurang lebih 10 tahun,” ujarnya. Kini, Rachmantio bisa menikmati hasil jerih payahnya. Meski masih aktif, ia mulai menyerahkan bisnis ini ke anaknya sejak tahun lalu. Dengan kapasitas mesin pasteurisasi susu mencapai 3.000 liter per jam, Bukit Baros mampu memproduksi keju 3 ton dalam 10 jam.
Selain berbisnis keju, Rachmantio melakukan diversifikasi ke bisnis
hospitality. Sekitar 15 tahun silam, ia membeli sebuah hotel di kawasan Sukabumi yang tadinya bercitra buruk. “Dulu itu hotel bisa dibilang ada maksiatnya. Kita beli dan ubah konsepnya jadi family hotel,” tuturnya. Ia merogoh puluhan miliar untuk menyulap hotel yang kini bernama Taman Sari Hotel itu. Ia juga membangun hotel baru, Nuansa Bali Hotel, di Anyer, Banten. Di usia senjanya, Rachmantio juga masih aktif menulis buku. Jika dahulu lebih banyak menulis buku-buku teknik, kini salah satu pendiri Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini lebih suka menulis buku non-teknik. “Saya sedang menulis buku tentang ego, semua yang berhubungan dengan manusia,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asih Kirana