Dulu sering dibuang dan dianggap makanan ular, kini porang disayang seperti emas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jika dulu banyak dibuang, tanaman porang kini banyak dibudidayakan petani di sejumlah daerah. Di pasar ekspor, umbi porang yang diolah jadi tepung ini laku keras. Padahal, tanaman ini tumbuh liar di pekarangan rumah dan dianggap masyarakat sebagai makanan ular.

Umbi dari porang, banyak dicari di pasaran luar negeri seperti Jepang, China, Taiwan, dan Korea. Tepung umbinya dipakai sebagai bahan baku kosmetik, obat, hingga bahan baku ramen.

Diberitakan Harian Kompas, 17 Juni 2011, porang awalnya tidak lebih dari tumbuhan liar yang lazim ditemukan di sela-sela pepohonan hutan di Madiun, Jawa Timur. Terinspirasi sifat tumbuh dan nilai ekonominya, warga setempat membudidayakan tanaman ini di balik rimbunnya tegakan pohon di hutan.


Baca Juga: Cerita soal porang, tanaman viral yang bikin banyak petani jadi miliarder

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, warga tak perlu lagi menebang pohon di area hutan. Di Madiun, porang banyak ditanam petani di lahan-lahan Perhutani yang dikerjasamakan. Rupanya, peningkatan kesejahteraan petani di kawasan hutan, sampai membuat angka pencurian kayu hutan milik Perhutani menurun drastis.

Ide untuk menanam porang tak lepas dari pertimbangan ekologis. Tumbuhan ini cocok untuk tumbuh kembang di bawah tanaman tegakan hutan. Di samping itu, porang juga memiliki nilai ekonomi dan sosial dalam rangka pengembangan dan pelestarian hutan.

Baca Juga: Perhutani menambah lahan tanaman pangan di Banten

Umbi porang laku dijual. Saat ini harganya menembus Rp 2.500 per kg basah atau baru petik. Umbi porang kering atau chips porang dihargai lebih mahal lagi, Rp 20.000 per kg. Masih ada yang lebih mahal yakni tepung porang. Namun, kemampuan masyarakat belum sampai ke sana sehingga teknologi pembuatan tepung masih dikuasai pabrik besar.

Bagi warga Desa Sumberbendo, salah satu desa di Kabupaten Madiun, porang adalah primadona yang diibaratkan sebagai emas hitam karena hasil panen porang bisa langsung dikirim ke Jepang.

Baca Juga: Laba bisnis porang bisa 10 kali lipat dari jahe

Produktivitasnya juga terbilang tinggi. Setiap hektar lahan mampu menghasilkan 5 ton umbi basah sehingga petani bisa membukukan pendapatan minimal Rp 12,5 juta per hektar. Panen porang berlangsung sekali dalam setahun. Akan tetapi, porang tidak memerlukan biaya pemeliharaan.

Bahkan, penanaman cukup dilakukan sekali dan hasilnya bisa dinikmati setiap tahun.

Kisah Paidi

Beberapa petani bahkan kaya raya berkat tanaman ini. Paidi contohnya, petani porang asal Madiun yang sebelumnya berprofesi sebagai pemulung ini jadi miliader berkat porang. Suksesnya tak dibawa sendiri, dia juga mengajak petani-petani di kampung halamannya menanam porang.

Baca Juga: Panen setahun sekali, harga iles-iles terus membubung

Awal mula perkenalannya dengan porang saat dirinya bertemu temannya di Desa Klangon, Kecamatan Seradan, Kabupaten Madiun. Di daerah itu, banyak petani membudidayakan porang. Dari informasi di internet, porang banyak dicari perusahaan-perusahaan besar dunia. "Setelah saya cek, ternyata porang menjadi bahan makanan dan kosmetik yang dibutuhkan perusahaan besar di dunia," ungkap Paidi dikutip dari Kompas.com (12/6/2019).

Melihat peluang yang besar, dirinya pun berinisiatif menanam porang di kampung halamannya. Porang rupanya tumbuh subur di lahan perbukitan di desanya meski ditanam di bawah pohon jati. Dalam satu hektar, Paidi bisa memanen umbi porang hingga 70 ton.

Baca Juga: Prospek Peternakan Cerah, Pebisnis Pakan Incar Kenaikan Penjualan Dua Digit

Selain itu, di Jawa Timur, mulai banyak bermunculan pabrik pengolahan porang untuk diekspor.

Ditanya omzet yang ia dapatkan dari pengembangan porang di Desa Kepel, Paidi mengatakan sudah mencapai miliaran rupiah. "Sudah di atas satu miliar," kata Paidi.

(Sumber: KOMPAS.com/Muhlis Al Alawi | Editor: Robertus Belarminus)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dulu Dianggap Makanan Ular, Porang Kini Jadi "Emas" Petani" Penulis : Muhammad Idris Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie