WASHINGTON. Perekonomian global tengah menghadapi guncangan utama jilid tiga atas pertumbuhan dalam lima tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah perekonomian emerging market, mulai dari China hingga Brazil, mencatatkan perlambatan. Hal ini memicu perdebatan seberapa besar pemerintah harus memberikan respon terhadap masalah ini. Kejutan ketiga guncangan ekonomi diramal akan terjadi pada pekan ini, di mana China akan melaporkan pertumbuhan ekonominya yang diprediksi tumbuh 7,4% pada kuartal lalu. Jika hal itu terjadi, maka, angka itu menjadi pertumbuhan paling lambat dalam tiga tahun terakhir. Ekonomis mengunkapkan, perlambatan ekonomi China akan memukul perekonomian negara kaya yang saat ini sudah melemah kekuatannya. Penurunan sekitar 1% atas pertumbuhan ekonomi China menyebabkan penurunan harga komoditas sebesar 1,5 poin. Kondisi ini mengancam negara-negara yang kaya komoditas seperti Kanada. Di sisi lain, 80% barang-barang dari negara ini diimpor dari Jepang, Korsel, dan Taiwan. Sementara itu, Jerman juga menderita akibat perlambatan permintaan dari capital goods mereka. Asal tahu saja, kekuatan negara maju setelah tiga tahun pasca negara-negara industri memimpin dunia keluar dari resesi subprime mortgage, semakin menipis. Kondisi itu semakin memburuk akibat krisis utang Eropa. Salah satu buktinya dapat dilihat dari prediksi pertumbuhan Badan Moneter Internasional (IMF) yang hanya mencatatkan pertumbuhan rata-rata 5,8% dalam lima tahun hingga 2016 mendatang. Angka tersebut lebih rendah 2 percentage poin dari periode posisi lima tahu sebelum krisis 2009. Pertemuan Menteri Keuangan di IMF dan Bank Dunia di Tokyo pada akhir pekan lalu lebih menekankan pada penanganan masalah tersebut. Pimpinan Bank Sentral Korea Selatan, misalnya, mengimbau untuk terus menambah stimulus. Sementara Rusia dan Brazil menyerukan agar negara-negara kaya segera memperbaiki kondisi perekonomian mereka. "Ada kecemasan bahwa dalam jangka pendek, mesin yang menyokong pertumbuhan besar saat ini mengalami perlambatan pertumbuhan. Mereka tetap tumbuh, namun pertumbuhannya lebih lambat dari yang diantisipasi oleh dunia," papar Jacob Frenkel, chairman JPMorgan Chase International. Pertemuan IMF yang berakhir kemarin (14/10) menandai dua hal. Pertama, optimisme bahwa Eropa saat ini memiliki infrastruktur kebijakan yang dapat mengatasi guncangannya. Kedua, perpecahan pendapat antara IMF dan Jerman mengenai penting tidaknya bailout dikucurkan oleh negara-negara yang membutuhkan seperti Yunani. Negara-negara maju termasuk Swiss, Jepang, dan Brazil saat ini tengah bersiaga seiring penguatan mata uang mereka. Sementara, para delegasi tidak menyetujui usulan besaran penghematan anggaran seiring dorongan kepada AS untuk menghindari kekacauan keuangan mereka. "Para menteri mendiskusikan respon jangka pendek mengenai perekonomian ekonomi, namun, opini mereka tidak selaras ke satu arah. Dunia memiliki masalah kepemimpinan saat ini," jelas Menteri Keuangan Korsel Bahk Jae Wan.
Dunia akan menghadapi guncangan ekonomi jilid tiga
WASHINGTON. Perekonomian global tengah menghadapi guncangan utama jilid tiga atas pertumbuhan dalam lima tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah perekonomian emerging market, mulai dari China hingga Brazil, mencatatkan perlambatan. Hal ini memicu perdebatan seberapa besar pemerintah harus memberikan respon terhadap masalah ini. Kejutan ketiga guncangan ekonomi diramal akan terjadi pada pekan ini, di mana China akan melaporkan pertumbuhan ekonominya yang diprediksi tumbuh 7,4% pada kuartal lalu. Jika hal itu terjadi, maka, angka itu menjadi pertumbuhan paling lambat dalam tiga tahun terakhir. Ekonomis mengunkapkan, perlambatan ekonomi China akan memukul perekonomian negara kaya yang saat ini sudah melemah kekuatannya. Penurunan sekitar 1% atas pertumbuhan ekonomi China menyebabkan penurunan harga komoditas sebesar 1,5 poin. Kondisi ini mengancam negara-negara yang kaya komoditas seperti Kanada. Di sisi lain, 80% barang-barang dari negara ini diimpor dari Jepang, Korsel, dan Taiwan. Sementara itu, Jerman juga menderita akibat perlambatan permintaan dari capital goods mereka. Asal tahu saja, kekuatan negara maju setelah tiga tahun pasca negara-negara industri memimpin dunia keluar dari resesi subprime mortgage, semakin menipis. Kondisi itu semakin memburuk akibat krisis utang Eropa. Salah satu buktinya dapat dilihat dari prediksi pertumbuhan Badan Moneter Internasional (IMF) yang hanya mencatatkan pertumbuhan rata-rata 5,8% dalam lima tahun hingga 2016 mendatang. Angka tersebut lebih rendah 2 percentage poin dari periode posisi lima tahu sebelum krisis 2009. Pertemuan Menteri Keuangan di IMF dan Bank Dunia di Tokyo pada akhir pekan lalu lebih menekankan pada penanganan masalah tersebut. Pimpinan Bank Sentral Korea Selatan, misalnya, mengimbau untuk terus menambah stimulus. Sementara Rusia dan Brazil menyerukan agar negara-negara kaya segera memperbaiki kondisi perekonomian mereka. "Ada kecemasan bahwa dalam jangka pendek, mesin yang menyokong pertumbuhan besar saat ini mengalami perlambatan pertumbuhan. Mereka tetap tumbuh, namun pertumbuhannya lebih lambat dari yang diantisipasi oleh dunia," papar Jacob Frenkel, chairman JPMorgan Chase International. Pertemuan IMF yang berakhir kemarin (14/10) menandai dua hal. Pertama, optimisme bahwa Eropa saat ini memiliki infrastruktur kebijakan yang dapat mengatasi guncangannya. Kedua, perpecahan pendapat antara IMF dan Jerman mengenai penting tidaknya bailout dikucurkan oleh negara-negara yang membutuhkan seperti Yunani. Negara-negara maju termasuk Swiss, Jepang, dan Brazil saat ini tengah bersiaga seiring penguatan mata uang mereka. Sementara, para delegasi tidak menyetujui usulan besaran penghematan anggaran seiring dorongan kepada AS untuk menghindari kekacauan keuangan mereka. "Para menteri mendiskusikan respon jangka pendek mengenai perekonomian ekonomi, namun, opini mereka tidak selaras ke satu arah. Dunia memiliki masalah kepemimpinan saat ini," jelas Menteri Keuangan Korsel Bahk Jae Wan.