JAKARTA. Kendati Bank Dunia telah menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2% dari 3,2% menjadi 3,4%, namun sebagian negara berkembang justru mengalami tekanan. Hal itu akibat pertumbuhan industri di negara-negara maju dan adanya capital outflow dari negara berkembang ke negara maju. Karena itu, Indonesia memilih memitigasi risiko dengan memperkuat fundamental ekonomi. Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah menanggapi instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk melakukan tanggap darurat sebagai respons cepat atas kerusakan berbagai infrastruktur di daerah paska bencana di awal 2014 ini.
“Respons cepat kebijakan Pemerintah terus dilakukan tidak hanya pemulihan ekonomi wilayah paska bencana tetapi juga untuk memperkokoh fundamental ekonomi nasional,” kata Firmanzah dalam perbincangan melalui sambungan telepon, Senin (10/2), seperti dikutip dari Setkab RI. Diakui Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan itu, sejumlah indikator ekonomi nasional hingga minggu pertama Februari 2014 menunjukkan perkembangan yang positif. Neraca perdagangan Desember 2013 misalnya, surplus 1.52 miliar dollar AS atau tertinggi sejak 2011. “Surplus ini memberi kekuatan perbaikan neraca transaksi berjalan dan neraca modal,” kata Firmanzah sembari menyebutkan, surplus neraca perdagangan Desember 2013 itu juga telah mendorong peningkatan cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah. Firmanzah juga menyebutkan, cadangan devisa hingga akhir Januari 2014 sebesar 100,7 miliar dollar AS atau setara dengan 5-6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sementara tekanan nilai tukar rupiah juga semakin menipis dan diharapkan akan terus menguat hingga akhir tahun 2014. Pendapatan per kapita di akhir 2013 meningkat hingga 36.5 juta dari 33.5 juta tahun 2012. Namun, untuk memastikan fundamental ekonomi tetap kokoh, pemerintah berupaya melakukan rehabilitasi ekonomi paska bencana. “Melalui respons kebijakan jangka pendek ini, diharapkan perekonomian wilayah dan nasional dapat terjaga dan bergerak sehinggga semakin memperkokoh fundamental ekonomi nasional,” papar Firmanzah. Gejala Capital Outflow Firmanzah menambahkan, perkembangan positif negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan zona Eropa sepanjang kuartal akhir 2013 telah memincu kekhawatiran khususunya di negara-negara berkembang dengan profil defisit fiskal yang besar dan fundamental ekonomi yang rapuh. Ia menguraikan, paska penguatan ekonomi di negara maju, sebagian besar negara berkembang diselimuti tekanan eksternal yang menggerus nilai tukar mata uang dan risiko inflasi. Pelemahan nilai tukar mata uang negara berkembang itu, dipicu oleh
capital outflow dan menguatnya mata uang sejumlah negara maju. “
Capital outflows yang disertai dengan volatilitas harga komoditas dunia menstimuli inflasi yang tinggi dan menghadirkan
cost of fund yang tinggi pula pada industry keuangan. Kondisi ini diperburuk oleh perubahan cuaca ekstrim yang menganggu produksi dan menyebakan kelangkaan komoditas di pasar dunia,” tutur Firmanzah sembari menyebutkan, kebijakan otoritas bank sentral Turki, Brazil, Afrika Selatan untuk menaikkan suku bunga acuannya merupakan respon untuk menahan tekanan dari besarnya
capital outflows itu. Situasi di atas sebagai paradoks pemulihan global. Di satu sisi, ekonomi global menunjukkan sinyal pemulihan yang ditopang oleh negara-negara maju. Di sisi lain penguatan ekonomi negara maju memberi tekanan bagi ekonomi negara berkembang khsusunya dengan struktur ekonomi yang rentan. Padahal, jelas Firmanzah, pasar negara-maju terbesar saat ini adalah kawasan Asia yang sebagian besar adalah kumpulan negara-negara berkembang. Itu artinya, penguatan ekonomi negara maju hanya akan berdampak posisif terhadap perekonomian dunia jika ekonomi negara-negara berkembang juga menunjukkan arah yang sama. Konsisten sejak 2009 Sepanjang 2009-2013, pemerintah terus memperkokoh fundamental ekonomi nasional dengan mengedepankan strategi pertumbuhan yang berkualitas melalui
keep buying policy, dan mendorong sektor investasi sebagai mesin pertumbuhan nasional. Konsistensi kebijakan dan komitmen Pemerintah itu dapat dilihat misalnya, kebijakan strategis Presiden SBY sepanjang periode 2009-2014 dengan menekankan kebijakan fiskal yang hati-hati,
prudent, akuntabel, dan disiplin yang tinggi. “Kebijakan ini tentunya tanpa menegasikan ruang ekspansi fiskal untuk menstimuli perekonomian nasional dnegan memperhatikan kapasitas fiskal dan dinamika ekonomi dunia,” jelas Firmanzah. Selain itu, melalui program MP3EI, yang berhasil merealisasikan investasi lebih Rp 800 triliun di enam koridor ekonomi hingga akhir 2013, ditambah dengan realisasi investasi dari BKPM yang mencapai Rp. 398.6 triliun (melebihi target 2013), pemerintah telah memperluas lapangan kerja.
Sepanjang lima tahun reakhir, pemerintah terus memperkuat pembangunan infrastruktur seiring dengan perbaikan sistem logistic nasional. Hal ini setidaknya telah membuahkan hasil positif yang tercermin dari peringkat daya saing Indonesia tahun 2013 naik 12 level ke peringkat 38 dari peringkat 50 pada tahun sebelumnya. Adapun menyangkut konsumsi rumah tangga, menurut Firmanzah, terus diperkuat sebagai basis pertumbuhan ekonomi, dengan penguatan daya beli masyarakat melalui efek berantai realisasi investasi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan