JAKARTA. Strategi pemerintah memperpendek tenor surat utang negara (SUN) berdampak pada berkurangnya pasokan SUN tenor panjang. Padahal investor lebih suka memburu SUN tenor panjang demi meraih
capital gain. Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan tahun ini memperpendek durasi SUN tenor jatuh tempo alias
average time maturity (ATM). Sebelumnya, portofolio utang pemerintah lewat SUN rata-rata jatuh tempo 10,55 tahun. Nah di 2015, pemerintah menargetkan penurunan rata-rata jatuh tempo menjadi 8,7 tahun. Per 2 Februari 2015, Ditjen Pengelolaan Utang mencatat portofolio investor asing pada SUN bertenor di atas 10 tahun mencapai 45%, tenor 5 hingga 10 tahun 34%, tenor 2 tahun - 5 tahun sebesar 14%, dan tenor kurang dari 1 tahun sebesar 5%.
Penerapan strategi pemangkasan tenor sudah terlihat pada penerbitan SUN tahun 2015, termasuk pada lelang Selasa (3/2). "Seri FR0071 yang bertenor 14 tahun, cuma diserap sekitar 33% dari total penawaran yang masuk ke seri itu,” ujar Analis obligasi Sucorinvest Central Gani, Ariawan. Hal ini berbeda dengan penyerapan FR0069 yang bertenor lima tahun, dengan serapan hingga 82% dari total penawaran yang masuk ke FR0069. Pemerintah mengerem penerbitan SUN yang tenornya di atas 10 tahun. Ariawan memprediksi, pada lelang SUN selanjutnya pemerintah akan tetap mengutamakan penerbitan SUN seri SPN (tenor pendek) dan di bawah 10 tahun seperti FR0069. Analis obligasi Millenium Danatama Indonesia Desmon Silitonga mengatakan, strategi pemerintah memperpendek durasi jatuh tempo sudah mulai terlihat sepanjang awal 2015 ini. Indikasinya, pemerintah tidak agresif memenangkan seri FR0068 pada beberapa lelang sepanjang Januari kemarin. “Sebenarnya penurunan durasi ini juga permintaan investor karena jika terlalu lama risiko buat investor semakin tinggi,” ujar Desmon. Menurutnya, investor juga harus memantau kondisi ruang fiskal pemerintah. Memburu tenor panjang Dengan durasi tenor SUN lebih pendek, berarti kewajiban pemerintah mengembalikan dana investor menjadi lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Untuk itu perlu pelebaran dan pengelolaan ruang fiskal yang sehat agar pemerintah dapat memenuhi kewajiban tersebut. “Kalau masih sekitar 8,7 tahun, saya rasa pemerintah masih sanggup,” ungkap Desmon. Pengereman penerbitan SUN tenor panjang akan berdampak ke pasar sekunder. SUN tenor panjang di atas 10 tahun diburu investor di pasar sekunder, karena berharap pada potensi capital gain. Seri ini dipandang lebih likuid tapi juga fluktuatif. Di sisi lain, likuiditas global juga tengah melimpah. "Portofolio investor asing banyak yang berada di SUN tenor panjang karena berharap pada potensi perbaikan ekonomi di tahun ini,” ungkap Desmon.
Ariawan berpandangan, investor yang tak kebagian di lelang SUN akan mencoba mencari di pasar sekunder, termasuk pada SUN tenor panjang. Tapi hal ini tak lantas dapat menekan yield SUN tenor panjang dengan signifikan. “Yield SUN tenor 10 tahun bisa turun 50 basis poin lagi tapi di semester I akhir,” prediksi Ariawan. Ia menilai, saat ini tingkat yield sudah cukup rendah, sehingga banyak investor yang menghitung kembali potensi capital gain, jika mereka mendapatkannya di pasar sekunder. Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) mencatat, pada Kamis (5/2) yield FR0070 yang bertenor 10 tahun nongkrong di level 7,01%, naik dibandingkan hari sebelumnya di 6,91%. Desmon memprediksi, dalam sepekan ke depan yield tersebut berada di rentang 6,7%-7,1%. “Dengan asumsi tidak ada hal luar biasa seperti Bank Indonesia menurunkan suku bunga,” prediksi Ariawan. Tapi menurut Desmon, potensi penurunan yield tetap ada, jika tren deflasi pada Januari kembali terulang pada Februari 2015. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa