KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Duta Anggada Realty Tbk (
DART) menilai gugatan yang diajukan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero tidak logis. Pasalnya, pada 1997 PT KAI telah menyetujui Hak Guna Bangunan (HGB) terhadap bangunan yang akan dibangun oleh DART. Namun, KAI meminta DART untuk membayarkan biaya Hak Penggunaan Lahan (HPL) yang harusnya ditangani KAI. "Masalah awalnya di sini timbul. Bahwa setelah mengurus HPL-nya, klien kami akan membangun, (lalu) meminta rekomendasi SIPPT (Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah) (kepada KAI) yang saat ini belum diberikan. Bagaimana klien kami mau membangun, SIPPT tidak diberikan," papar Erwin Kallo, kuasa hukum DART, kepada wartawan, Rabu (25/7).
Manajemen KAI juga menuntut DART membayar ganti rugi senilai Rp 820.610.859.000 atas tuntutan tersebut, Erwin menilai, tuntutan tersebut tidak logis. Masalahnya, imbuh Erwin, segala biaya terkait perjanjian antara DART dan KAI ditanggung oleh DART. "Yang menguruskan HPL-nya klien kita, tiba-tiba dia ingin membatalkan dan meminta ganti rugi. Aneh," respon Erwin. Terlebih, Erwin menuduh, PT KAI menghambat pembangunan Depo Mass Rapid Transportation (MRT) yang akan dibangun di kawasan sekitar Desa Ancol tersebut. Direksi DART, lanjut Erwin, sudah menemui Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, beserta Direksi MRT untuk membahas kelangsungan proyek pembangunan Depo tersebut. Oleh karena itu, "tidak ada alasan untuk Duta Anggara untuk tidak setuju dengan (pembangunan Depo) MRT," tegas Erwin. Pada pekan ini, Erwin akan kembali melakukan mediasi di persidangan untuk ketiga kalinya setelah mediasi di persidangan kali pertama dan kedua pihak Direksi KAI tidak hadir. Erwin menantang, DART akan menggugat balik KAI pada objek gugatan yang berbeda. "Kita akan menuntut balik KAI atas penderitaan yang dialami sekian-puluh tahun oleh klien kita," papar Erwin. "Bisa di Wanprestasi, bisa di Pema." Kepala Humas PT KAI, Agus Komarudin mengatakan, dirinya belum bisa menyampaikan keterangan maupun tanggapan lebih lanjut terkait gugatan ini. "Saya belum bisa bicara soal itu sekarang. Mohon maaf sekali," tutur Agus saat dihubungi Kontan via telepon, Rabu (25/7). Sebelumnya, KAI mendaftarkan gugatannya pada 31 Mei 2018 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan nomor perkara 292/Pdt.G/2018/PN.Jkt Utr. Selanjutnya PT KAI menuntut ditetapkan sebagai pemilik objek sertifikat hak pengelolaan No.10 Desa Ancol atas tanah seluas 64.277 m2 dengan batas-batas sebagaimana disebutkan dalam surat ukur nomor 09.02.00.01.00086/1998 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara pada 25 Januari 2000. PT KAI juga meminta sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama tergugat (Duta Anggada) yang berasal dari hak pengelolaan No. 10 Desa Ancol atau HGB No. 1742 Desa Ancol, tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak mengikat penggugat.
Selanjutnya PT KAI menuntut PN Jakarta Utara menghukum dan memerintahkan tergugat dan atau pihak atau orang yang memperoleh hak dari tergugat untuk segera mengosongkan dan menyerahkan seluruh aset milik penggugat berupa tanah dan atau bangunan yang terletak di Kampung Bandan seluas 64.277m2 tanpa syarat dan beban. Hingga 31 Maret 2018, struktur pemegang saham Duta Anggada terdiri dari Hartadi Angkosubroto dengan kepemilikan sebanyak 48,02%. Hartadi merupakan salah satu putra dari Dasuki Angkosubroto pendiri Gunung Sewu Group. Pemegang saham DART berikutnya adalah PT Duta Anggada dengan kepemilikan 44,94% serta masyarakat yang mengapit sebanyak 7,04%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto