JAKARTA. Menteri BUMN Rini Soemarno akhirnya mengumumkan Dwi Soetjipto sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang baru. Tugas berat menanti sang nakhoda baru. Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas Darmawan Prasodjo yang juga mantan tim Pokja Transisi Pemerintahan berharap Dirut baru Pertamina bisa memperbaiki berbagai bisnis Pertamina mulai dari
upstream,
downstream, hingga
mid stream. Dia berharap, pembenahan skala prioritas bisa dilakukan di sektor hulu. “Tantangan industri migas sangat besar dan rantainya sangat panjang. Untuk itu di tiap tahapan bisnis bisa menghasilkan value dengan cost yang lebih sedikit, dibutuhkan sikap profesionalisme,” ucapnya, Jumat (28/11).
Di sektor
downsteam seperti kilang, petrokimia, juga perlu segera diperbaiki. Begitu juga misal di rantai distribusi sudah mendesak untuk dilakukan pembenahan. Sekaligus juga meningkatkan core kompetensi bisnis, dan peningkatan kapabilitas organisasi Pertamina. “Di sinilah dari sisi kompetensi teknis dirut baru harus belajar lebih cepat, harus bisa mengawinkan antara kemampuan manajemen dan teknis,” tegasnya. Ia berharap kepemimpinan Dwi di Semen Indonesia bisa ditransformasikan ke Pertamina. “Dwi punya
track record bagus saat memimpin Semen Indonesia dari proses merger hingga jadi perusahaan berkelas internasional. Dia punya kepemimpinan kuat, semoga bisa ditransformasikan ke Pertamina,” jelasnya. Sebelumnya, Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, salah satu tugas mendesak yakni memaksimalkan energi alternatif melalui konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). "Ini terutama masalah lambatnya pengembangan infrastruktur, diduga ada konflik kepentingan dari pebisnis minyak yang tidak mau berkurang marginnya" ujar dia. Ia menyarankan, pemerintah menggeber konversi ke BBG minimal di untuk angkutan publik di kota-kota besar terlebih dahulu secara sungguh-sungguh dengan memperbanyak infrastruktur penunjang. Pembangunan infrastruktur itu juga harus diberikan kemudahan. Ia berharap, agar konversi maksimal, semua pihak mendahulukan kepentingan bangsa dan mengurangi kepentingan pribadi dan golongan bicara. "Perlu tindakan tegas dari Pemerintah agar benturan kepentingan tersebut tidak berlarut larut" tandasnya. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, dari sekian kali kenaikan harga BBM dan LPG bersubsidi, seringkali pemerintah luput untuk membenahi penyediaan energi alternatif. “Dana penghematan subsidi BBM itu kemudian dialihkan ke infrastruktur termasuk pembangunan SPBG di kota-kota besar atau membangun fasilitas energi baru dan terbarukan, sehingga konversi BBM ke BBG dan energi alternatif lainnya bisa lebih cepat," kata Tulus,
Ia curiga, impor minyak yang terus dipertahankan mengindikasikan adanya kepentingan tertentu yang berkolaborasi dengan para mafia minyak, sehingga program konversi ke gas jadi lambat. Di satu sisi, Tulus mencurigai meningkatnya impor minyak menjadi ‘permainan’ mafia migas untuk mengganjal program konversi BBM ke BBG. “Importir minyak menjadi salah satu penghambat eksternal konversi, karena ada mafia mafia itu tadi. Revitalisasi kilang sangat seret,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto