DXY Tergelincir di Bawah Level Psikologis, Rupiah Tertekan Faktor Domestik



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indeks dolar AS (DXY) kembali tergelincir ke bawah level psikologis 100. Namun, ekonom menilai kondisi tersebut belum menjadi katalis penguatan rupiah, yang justru masih dibayangi tekanan domestik.

Sejak awal tahun, DXY memang terus melanjutkan tren pelemahan. Mengutip Trading Economics, Selasa (30/12/2025) pukul 13.40 WIB, DXY melemah 1,46% secara bulanan dan 9,70% YtD ke level 97,961.

Mengenai hal ini, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyampaikan bahwa tekanan yang terjadi terhadap USD saat ini sifatnya struktural, sehingga akan berlangsung dalam periode yang panjang. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor.


Pertama, tingkat utang AS yang semakin melejit sehingga kondisi fiskal makin rentan serta risiko fiskal makin tinggi. Kedua, tren negara-negara beralih dari AS ke hard currency lain dan emas sebagai reserve currency.

Ketiga, gerakan banyak negara di dunia untuk melakukan transaksi menggunakan mata uang lokal (non-USD), ini akan menekan kebutuhan USD.

Baca Juga: DXY Melemah Tapi Rupiah Tertekan, Risiko Fiskal Membayangi Nilai Tukar pada 2026

Keempat, ada perkembangan kebijakan moneter AS termasuk kecenderungan The Fed memangkas Fed Rate untuk menstimulus penciptaan lapangan kerja, ikut berpengaruh signifikan.

“Jadi, pelemahan DXY bukan semata-mata karena sentimen pasar, tetapi karena faktor fundamental dan struktural,” ujar Wijayanto kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).

Meski DXY telah mengalami tekanan beberapa waktu terakhir, realitanya rupiah tak mengambil momentum penguatan. Menurut Wijayanto, dinamika DXY tidak ada kaitan dengan nilai tukar rupiah.

Sepanjang tahun 2025, rupiah melemah terhadap 84% mata uang dunia, dan terhadap seluruh mata uang utama kecuali Rupee. Situasi ini bisa berlanjut di tahun 2026, jika pemerintah tidak menunjukkan kemampuan untuk memastikan stabilitas dan sustainabilitas fiskal dalam negeri terjaga.

Baca Juga: Rupiah Ditutup Menguat ke Rp 16.771 Per Dolar AS Hari Ini (39/12), Baht Melesat

Dalam setahun ini, Wijayanto mencatat rupiah hanya terdepresiasi sebesar 3,55% terhadap USD, tetapi USD terdepresiasi hingga 9,23% terhadap 7 mata uang utama.

Sehingga sesungguhnya rupiah terdepresiasi hingga 13,1% terhadap 7 mata uang utama dunia (Pounds, Euro, Swiss Franc, Swedia Krona, Yen, AUD dan CAD). Menurutnya, ini kinerja yang cukup mengkhawatirkan.

“Kali ini, kondisi fiskal dalam negeri merupakan faktor paling sensitif yang akan mempengaruhi nilai tukar rupiah,” tegasnya.

Maka dari itu, tekanan rupiah tersebut antara lain tercermin dari tren pendapatan primer yang kian melebar defisitnya, seiring tingginya beban pembayaran bunga utang serta besarnya arus transfer dividen ke luar negeri.

Di sisi lain, aliran investasi asing (foreign direct investment/FDI) tercatat mengalami stagnasi, sementara terjadi outflow investasi portofolio. Kombinasi faktor-faktor tersebut membuat pasokan devisa menjadi terbatas dan menambah tekanan terhadap pergerakan rupiah di pasar.

Baca Juga: Rupiah vs Dolar AS: Pergerakan Selasa 30 Desember 2025

Dengan sejumlah faktor di atas, Wijayanto memperkirakan rupiah masih akan terus melemah sepanjang tahun 2026 dengan tingkat depresiasi terhadap 7 mata uang dunia yang semakin rendah.

Tetapi, jika Pemerintah gagal menjaga kredibilitas fiskal dan ketergantungan terhadap utang terus berlanjut, maka tingkat depresiasi bisa lebih besar dari tahun 2025. Maka, tidak berlebihan jika tahun 2026 disebut sebagai tahun kritikal bagi rupiah.

Wijayanto memprediksi nilai mata uang Garuda pada tahun 2026 akan bertengger di kisaran Rp 17.000 – Rp 18.750 per dolar AS.

Selanjutnya: 47.149 Rumah Rusak Akibat Bencana Sumatera,KemenPU Kejar Target Bangun 29.542 Huntara

Menarik Dibaca: Promo Hypermart Beli Banyak Lebih Hemat sampai 1 Januari, Kecap Bango Beli 2 Murah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News