EBA: Solusi pembiayaan infrastruktur



Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Sejumlah kajian dari berbagai lembaga dunia telah mengonfirmasi hal tersebut. Sayangnya, sampai saat ini, jejak menuju ke tahap yang lebih maju masih cenderung samar terlihat.

Banyak faktor penyebab. Salah satunya ialah terbatasnya infrastruktur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Maklum, sejak krisis moneter tahun 1997-1998, Indonesia alpa untuk membangun proyek infrastruktur. Padahal, tidak ada satu pun negara di dunia yang perekonomiannya bisa tumbuh tinggi secara sustain dan berdaya saing tanpa adanya sokongan dari beragam infrastruktur yang berkualitas.

Lihat saja China, yang menjadi salah satu poros kekuatan ekonomi dunia saat ini. Negara tembok raksasa tersebut bisa tumbuh rata-rata 10% dalam tiga dekade sebelumnya. Begitu pun Korea Selatan yang mampu keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan menjadi salah satu negara paling inovatif di dunia. Dua negara ini mengalokasikan dana yang besar untuk membangun infrastruktur.


Itulah sebabnya, jika Indonesia ingin menjadi  bagian dari poros kekuatan ekonomi dunia, maka pembangunan infrastruktur keras dan lunak (SDM) menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, dengan kondisi geografis Indonesia yang adalah negara kepulauan (archipelago) memang harus memiliki infrastruktur yang andal agar dapat memangkas biaya ekonomi (transaksi dan logistik) dan membuat ekonomi bisa berdaya saing.  

Untunglah, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla telah memulainya. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah menjadi fokus dan komitmen pemerintah Jokowi.

Bentuk komitmen pemerintah ini dapat dilihat dari kebijakan anggaran di APBN. Sejak tahun 2014, alokasi anggaran untuk infrastruktur terus meningkat. Tahun 2017, nilainya mencapai Rp 387,7 triliun yang setara 18,6% dari total belanja. Bahkan tahun 2018 nanti, nilainya naik menjadi Rp 409 triliun.

Alokasi anggaran ini belum memperhitungkan alokasi dana desa yang ditujukan untuk membangun infrastruktur desa. Tahun 2017, nilainya mencapai Rp 60 triliun dan diperkirakan akan terus meningkat ke depannya.

Sayangnya, alokasi anggaran dari APBN tetap terbatas. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari tingginya investasi pembangunan infrastruktur. Nilainya mencapai Rp 5.519 triliun sepanjang tahun 2014-2019. APBN hanya bisa membantu sekitar 20% dari total investasi tersebut.  

Pemerintah perlu kreatif

Terbatasnya alokasi anggaran dari APBN ini tidak dapat dilepaskan dari besarnya alokasi untuk belanja mengikat yang jadi amanat konstitusi, seperti belanja pendidikan (20%), belanja kesehatan (5%), dan dana transfer daerah dan desa (26%). Alokasi ini belum memperhitungkan belanja rutin, pembayaran bunga utang, dan subsidi.

Untuk membiayai belanja yang besar itu, pemerintah memenuhinya dari penerimaan pajak. Sayangnya, dalam lima tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak selalu berada di bawah target yang ditetapkan alias shortfall.

Alhasil, untuk menutupi gap penerimaan dan belanja yang sangat lebar inilah, maka pemerintah harus menerbitkan utang. Dalam tiga tahun terakhir, nilai cukup besar. Bahkan, dalam dua tahun ke depan, penarikan utang dalam jumlah besar berpotensi terjadi, karena adanya utang jatuh tempo yang nilainya mencapai Rp 810 triliun.

Meski begitu, pemerintah tidak boleh terus-menerus untuk menyedot utang. Selain membuat posisi pemerintah rentan diserang secara politik dan membebani APBN di masa depan, penarikan utang juga dapat memicu efek pemojokan (crowding out) yang dapat menimbulkan tekanan pada perekonomian. Dampaknya dapat menghambat sektor swasta untuk mengakses pembiayaan dan memicu terjadi resistensi penurunan suku bunga pinjaman.

Apakah keterbatasan anggaran dari APBN ini, membuat pembangunan infrastruktur jadi terhambat? Tentu tidak. Di sinilah dibutuhkan kreativitas pemerintah untuk menggali pembiayaan investasi alternatif di luar APBN atau  pembiayaan investasi non-anggaran pemerintah (PINA). Potensinya sangat besar.

Pemerintah bisa melibatkan sektor swasta untuk menggarap proyek infrastruktur yang menguntungkan. Tentu, pemerintah harus memberikan banyak insentif dan kemudahan, agar swasta langsung tertarik.

Pemerintah juga dapat melibatkan BUMN. Namun, kapasitas permodalan BUMN terbatas. Apalagi, pemerintah tidak lagi mengalokasikan penyertaan modal negara (PMN). Terbatasnya permodalan tersebut akan membuat BUMN mengerek leverage.

Nah, di sinilah kehadiran efek beragun aset (EBA) yang diterbitkan melalui mekanisme pasar modal bisa jadi solusi untuk menambah permodalan tersebut. Aset-aset BUMN yang selama ini tidak likuid dapat ditransformasi menjadi aset yang likuid melalui proses sekuritisasi yang bernama EBA.

PT Jasa Marga, Tbk telah memulai dengan menerbitkan produk KIK EBA dari pendapatan ruas jalan tol Jagorawi sebesar Rp 2 triliun (31/8) dengan tingkat kupon sebesar 8,4% atau jauh lebih besar dari bunga deposito. Diharapkan langkah BUMN jalan tol ini akan diikuti oleh BUMN-BUMN yang lain serta tidak ketinggalan sektor swasta lainnya. Namun, dengan catatan pemerintah dan otoritas bisa memberikan banyak kemudahan.

Kehadiran EBA ini akan memberikan banyak manfaat. EBA diharapkan akan mengurangi risiko mismatch terhadap sektor perbankan. Apalagi, saat ini perbankan sedang berhadapan pada besarnya tekanan kredit bermasalah (NPL) yang salah satunya berasal dari sektor konstruksi.  

Idealnya memang, pembiayaan infrastruktur lebih tepat dibiayai oleh sumber-sumber pembiayaan jangka panjang yang berasal dari pasar modal. Selain itu, kehadiran EBA ini juga akan mendorong pendalaman pasar modal dan memberikan alternatif investasi kepada masyarakat. Dana pensiun dan asuransi merupakan salah satu investor yang prospektif untuk dilibatkan dalam membeli EBA.  Masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur dan sekaligus menikmati hasil investasi dari situ.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi