JAKARTA. Melanjutkan konvensi calon presiden (capres), bagi Demokrat memang merupakan satu-satunya jalan terbaik yang bisa ditempuh partai besutan SBY ini untuk menyelamatkan kondisinya di tengah ketidakpastian iklim politik. Tak salah, jika langkah Demokrat itu dinilai bisa berpotensi memunculkan poros keempat yang merupakan hasil gabungan poros tengah dari hasil koalisi partai berbasis ideologi keagamaan. Menurut pengamat politik dari UI, Eep Saefulloh Fattah, lahirnya poros keempat sangat tergantung dari Partai Demokrat untuk membidaninya.
Eep mengatakan, dahulu, poros tengah terbangun karena ada beberapa faktor, yakni sesama pelopor berdirinya poros tengah merasa memiliki musuh bersama. Misalnya, mereka tidak menginginkan Megawati Soekarnoputri, maka mereka bersatu. Faktor kedua adalah banyaknya kesamaan yang menjadi alasan kuat untuk mempersatukan. Kesamaannya adalah baru saja mengikuti Pemilu, dan sudah bersemangat untuk membangun kembali aliran seperti pada tahun 1950-an. "Ada semangat untuk membangun lagi Masyumi, NU, dan kemudian aliran-aliran itu tersebar, maka kemudian romantisme historis itu yang mendorong terbangunnya kembali ikatan. Tak hanya itu, ada juga faktor ketokohan. Sekalipun problematis, pada 1999, ketokohan Gus Dur itu terbilang lumayan diantara partai-partai Islam lainnya pada masa itu," kata Eep, Rabu (16/4). Eep menilai, pada Pemilu tahun 1999, pilihannya memang terbatas. Saat itu, hanya ada tokoh Gus Dur dan Amien Rais. Jika Amien Rais yang terpilih, maka NU akan resisten. Sebaliknya, jika Gus Dur yang terpilih, maka Muhammadiyah resisten. Oleh sebab itu, Amien Rais menjadi promotor untuk mengurangi peruncingan konflik tingkat bawah antara NU dan Muhammadiyah. Saat ini, kata Eep, faktor dan kondisi itu tidak tersedia. Lantas, siapa yang mau mereka lawan? Jokowi? Tidak juga. Ternyata di survei, termasuk ExitPoll, banyak pemilih yang memilih partai islam. “Tetapi, ketika ditanya Pilpres, mereka akan memilih Jokowi. Ini bisa dibilang signifikan dibandingkan mereka yang memilih masuk ke Prabowo atau ARB,” imbuh Eep. Poros tengah jadi poros keempat Data itu memperlihatkan tidak adanya variabel pertama. Lalu, variabel kedua terkait aliran Islam juga tidak ada, karena aliran itu semakin nampak kabur. Ia menilai, partai-partai berbasis massa Islam yang ada sekarang sama pragmatisnya dengan partai manapun. Tidak ada romantisme historis untuk kembali ke masa 50-an, juga tidak ada tokoh yang kuat. Rata-rata partai islam pun mengajukan ketua umumnya. Tiga variabel ini tidak tersedia, maka poros tengah akan sangat sulit dibentuk. Jika situasi begitu dinamis, menurut Eep, poros tengah bisa mengubah diri menjadi poros keempat. Poros ini terbentuk dari sisa partai yang masih menjaga jarak dengan tiga poros yang sudah terbangun. Terutama, ketika porosi ini tidak condong berkoalisi kepada Jokowi dan PDIP selaku partai dominan. Begitu pula dengan Jokowi dan PDIP yang tidak gesit meminta untuk ‘meminang’ mereka, karena sudah merasa cukup hanya berkoalisi dengan Partai Nasional Demokrat. Mereka juga tidak ke Prabowo maupun Ical karena keduanya juga sudah cukup. Maka, mereka bisa membuat fragmentasi sendiri dan ternyata cukup. Demokrat jadi game changer Poros keempat dalam hitungan Eep melibatkan Partai Demokrat sebagai bidan dari kelahiran koalisi ini, atau dengan kata lain menjadi
game changer atau pengubah permainan. Oleh sebab itu, dengan berlanjutnya konvensi Partai Demokrat seperti keputusan yang dicetuskan langsung oleh SBY akan memberi angin segar.
Eep menilai, berlanjutnya konvensi ini akan digunakan untuk banyak kepentingan. Salah satunya termasuk potensi besar untuk membentuk poros keempat tadi. “Dengan berlanjutnya konvensi Demokrat dan lahirnya poros keempat, saya bisa mengasumsikan ada potensi munculnya kandidat baru untuk capres. Tapi, kita hanya bisa berasumsi sampai Mei yang akan datang," ujar Eep. Baik Hatta Rajasa, Muhaimin Iskandar, dan paket kandidat dari PKS yang akan disodorkan, diakui Eep, masih bisa berpotensi selama mereka menjelma diri sebagai poros keempat, bukan poros tengah dan tidak berafiliasi dengan nama identitas agama. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan