JAKARTA. Aset dasar reksadana semakin bertambah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membolehkan reksadana kontrak investasi kolektif (KIK) berinvestasi pada efek derivatif baik domestik ataupun global. Aturan POJK Nomor 23/POJK.04/2016 terkait Reksadana Kontrak Investasi Kolektif menyebutkan penambahan jenis efek yang dapat menjadi aset dasar portofolio investasi reksadana berupa derivatif. Derivatif merupakan produk turunan pasar modal. Ketentuan tersebut untuk mendukung kebijakan ekonomi pemerintah terutama paket kebijakan jilid 5 dan 11, mengenai dana investasi real estat (DIRE). Selain itu, penambahan jenis efek dilakukan dengan memperhatikan perkembangan industri reksadana.
Lihat saja, jumlah produk reksadana hingga akhir Juni 2016 telah mencapai 1.228 produk, naik dibandingkan posisi akhir tahun 2015 yang sebanyak 1.091 produk. Sedangkan total dana kelolaan reksadana telah mencapai Rp 309,44 triliun, tumbuh dibandingkan posisi akhir tahun lalu Rp 271,97 triliun. Direktur Utama Infovesta Utama Parto Kawito mengatakan, reksadana berefek derivatif memiliki kelebihan bisa untuk hedging, sehingga mengurangi risiko investasi. "Namun bisa juga menambah eksposur terhadap fluktuasi mata uang negara lain apabila derivatifnya dari luar negeri," ujar Parto, Rabu (20/7). Keuntungan lain, produk ini bisa lebih defensif atau tidak turun terlalu dalam saat pasar modal turun. Sebaliknya, saat pasar modal naik, reksadana efek derivatif bisa lebih unggul. "Apabila beli derivatifnya memang untuk cari capital gain bukan untuk hedging, maka kinerja bisa unggul," tutur Parto. Namun, risiko investasi produk akan lebih tinggi apabila manajer investasi menerapkan strategi mengambil derivatif untuk mencari capital gain. "Oleh karena itu tergantung strategi manajer investasi. Apabila manajer investasi menerapkan untuk hedging, risiko menurun," ujar Parto. Produk terbatas Derivatif bisa menjadi satu pilihan aset dasar reksadana yang menarik. Namun, manajer investasi belum berniat mengambil derivatif sebagai aset dasar. Direktur Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo mengatakan, efek derivatif tidak banyak tersedia di Indonesia. "Andaikata ada juga belum tentu menarik dari segi return. Pasar perlu waktu untuk menciptakan derivatif yang menarik. Selain itu, edukasi ke investor perlu digalakkan pula" papar Soni. Manajer investasi memang boleh mengambil produk derivatif luar negeri. Namun derivatif luar negeri juga kurang menarik. Maklum, saat ini kondisi perekonomian global tidak lebih baik dibanding dalam negeri. "Demikian pula dengan derivatif global yang kurang menarik karena return derivatif global harus lebih baik dibandingkan return instrumen dalam negeri," ujar Soni.
Kendati begitu, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan, efek derivatif akan menambah alternatif investasi bagi manajer investasi. Aset dasar tersebut juga diyakini akan berimbas terhadap kenaikan kinerja reksadana. "Selama ini efek derivatif high risk high return, lebih dipakai sebagai enhancer return. Kalau manajer investasi pintar bisa dongkrak performance, namun kalau sebagai hedging rasanya belum terlalu karena size pasarnya belum terlalu besar," kata Rudyanto. Dia mengatakan, masih mempertimbangkan mengambil efek derivatif sebagai aset dasar. "Pada prinsipnya jika bisa dianalisa, potensi return bagus dan likuid, seharusnya bisa menjadi pertimbangan," ujar Rudiyanto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie