KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sistem pembayaran tanpa uang tunai atau kerap dikenal dengan istilah cashless mungkin sudah tak asing lagi di Indonesia, khususnya daerah-daerah perkotaan. Supermarket, rumah makan, hingga pedagang kaki lima saat ini sudah memberikan opsi pembayaran cashless. Paling sering, opsi pembayaran cashless melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diinisiasi sejak 2019. Di tengah adopsi penggunaan QRIS yang kini semakin meluas, Bank Indonesia (BI) menetapkan Merchant Discount Rate (MDR) QRIS sebesar 0,3% bagi merchant usaha mikro dari sebelumnya 0%.
Baca Juga: Dompet Digital Kalah dari Uang Elektronik di MRT MDR adalah tarif yang wajib dibayarkan merchant pada bank sebagai biaya transaksi dalam penggunaan layanan QRIS. Besarnya MDR dan distribusi MDR ditetapkan tersendiri oleh BI. Penetapan biaya tersebut bukan tidak mungkin membebankan merchant dalam hal ini pedagang. Alhasil, efek domino bisa saja terjadi dengan skenario paling umum adalah harga yang dibebankan ke pembeli bertambah. KONTAN pun mencoba mendatangi beberapa usaha mikro yang menyediakan opsi pembayaran melalui QRIS. Langkah menaikkan harga untuk pembayaran melalui QRIS menjadi satu-satunya cara yang mereka lakukan. Hal tersebut telah diterapkan salah satu warteg yang ada di daerah Kemanggisan. Hendra, pedagang warteg tersebut mengungkapkan bahwa saat ini mereka menambah harga sebesar Rp 1.000 bagi pembeli yang hendak membayar menggunakan QRIS. Ia bilang langkah tersebut dipilih untuk menutupi biaya yang dikenakan dari layanan QRIS itu sendiri. Langkah tersebut pun akhirnya menimbulkan reaksi yang beragam. “Ada yang akhirnya memilih untuk menggunakan uang tunai, tapi ada juga yang tetap pakai QRIS,” ujarnya. Hanya saja, Hendra mengaku tidak tahu pasti beban biaya yang dikenakan dari QRIS. Hingga pada akhirnya, ia menyamaratakan tarif harga yang dikenakan. Langkahnya menaikkan tarif tersebut dikarenakan pembeli yang memilih untuk menggunakan QRIS juga tergolong banyak. Alhasil, ia tak mau menanggung sendiri biaya QRIS tersebut. “Yang saya tahu uang yang masuk dari pembayaran QRIS itu tidak full masuk ke kita,” ujarnya. Sementara itu, salah satu pemilik toko kelontong, Alfa, mengaku saat ini belum mengetahui bahwa ada biaya yang akan dikenakan untuk layanan QRIS ini. Sehingga, ia belum mengambil langkah apapun. Ia bilang saat ini yang ia ketahui biaya layanan QRIS itu dikenakan jika rekening pedagang yang dipakai dari dompet digital. Oleh karenanya, ia membuat QRIS melalui perbankan. “Kalau nantinya ada biaya ya pasti nanti harganya dinaikkan,” ujarnya.
Baca Juga: Tak Hanya untuk Pembayaran, BI Bakal Menambah Fitur Baru Layanan QRIS Meskipun demikian, Alfa menyadari bahwa penggunaan QRIS saat ini cukup membantu usahanya. Ia mencatat setiap harinya ada sekitar 60 pembeli yang memilih menggunakan QRIS. “Banyak. Bisa 62 transaksi yang pakai QRIS,” ceritanya. SVP Transaction Banking Retail Sales Bank Mandiri, Thomas Wahyudi mengungkapkan sejauh ini pemberlakukan MDR QRIS sebesar 0,3% memang masih berjalan dengan baik. Meski, ada reaksi yang beragam. Dalam hal ini, ia menjelaskan reaksi yang dimaksud adalah ada pedagang yang memang maklum dengan biaya tersebut dan ada juga yang mempertanyakan kebijakan itu. “Namun, tidak sampai ada yang mengembalikan,” ujarnya. Thomas bilang reaksi yang dinilai tak begitu berlebihan tersebut didasari karena metode pembayaran QRIS telah diterima di kalangan masyarakat. Menurutnya, metode ini dinilai relatif efisien. Memang, adopsi QRIS saat ini semakin meluas dengan tercermin dari data BI dengan penambahan jumlah pengguna dan merchant QRIS, yang saat ini telah mencapai masing-masing 35,80 juta dan 26,1 juta. Dengan total volume transaksi sebesar 744 juta, sejalan dengan pengembangan fitur QRIS di domestik dan antar negara.
“Selama 2023, Bank Mandiri menerima pendaftaran QRIS rata-rata sebanyak 125.000 user setiap bulannya,” ujar Thomas. Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), Santoso Liem menegaskan bahwa penyedia layanan QRIS dalam hal ini bank maupun fintech perlu teknologi untuk menjaga keberlanjutan sistem layanan tersebut. “Kita harus melihat jangka panjang untuk menjaga sistem dan segala perbaikan itu bisa mendapat dana dari mana, toh juga mendapatkan manfaat,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi